Itu malam hari ketika mereka muncul. Abigail dan Grav baru saja datang ke Libion dan sesegera mungkin menemui sang Raja yang memanggil mereka. Jarang-jarang raja sendiri yang menyewa jasa Merkenari, dan mereka tahu pekerjaan mereka kali ini bakal lebih berbahaya daripada biasanya.
Benar saja. Mereka tiba di depan tangga besar dimana berjaga dua Pengawal Istana. Mereka mengenakan helm bundar dengan dua lubang agar mata bisa melihat, serta di besi kelabu helm dijahit bulu-bulu lembut dari berbagai binatang agar melindungi mereka dari panasnya siang hari. Abigail melihat mereka dari dekat. Mereka masih memakai sedikit jirah besi di tubuh mereka pada jaman magis dan revolver ini, yang putihnya mengkilap-kilap ketika menyentuh cahaya lentera. Selebihnya hanyalah pakaian kuning cantik secantik emas-walau Abigail tahu itu hanyalah permainan warna. Tak lupa sayap kuning dengan sayap sang Malaikat sendiri terlambangkan disana serta kepala ikat pinggang berbentuk sayap itu sendiri. Mereka dengan congkak melarang Abigail dan Grav masuk dengan menunjukkan senapan mereka.
Abigail memberitahu siapa dirinya dan kepentingannya, barulah Pengawal Istana itu bersikap lunak. Mereka berdua menceritakan segalanya. Saat ini di istana sang putri Malael menghilang dari kamarnya dan di jalur membukit di utara Libion, tengah terjadi gempuran antara sekte sesat-yang memanggil diri mereka Sekte Mata-dengan lusinan Pengawal Istana. Atas perintah sang Raja sendiri, tak ada yang boleh keluar masuk istana, walau Abigail yang termahsyur sendiri memintanya.
Dia tahu tata krama dan batasannnya. Menerobos Pengawal Istana sekarang juga hanya akan memancing kecurigaan tak perlu terhadap dirinya. Merusak reputasinya. Dia dan Grav, rekannya, berencana untuk bergabung dengan gempuran di bagian utara kota, membantu kubu istana. Saat hendak berpamitan, di ujung tangga besar, datang dua Pengawal Istana lengkap dengan seragam mereka. Yang satu sedang menggendong seseorang dan dia mengangkat revolver kepada mereka.
"Awas dibelakang!" Abigail berseru memperingatkan dan mendorong Grav berlindung dari serangan. Satu Pengawal Istana segera tumbang menerima beberapa tembakan dan satu lagi segera berbalik untuk mengirimkan serangan balasan. Namun tak ada pakaian dan jirah yang mampu menahan peluru berat revolver. Pengawal terakhir tumbang secepat ledakan tembakan berbunyi.
Sekarang tersisa dirinya dan Grav berdua. Dia membawa revolvernya sendiri, namun dia tak dikenal sebagai jago tembak maupun pernah menembakkan revolver itu sendiri. Itu bukan revolver untuk ditembakkan. Tapi beda dengan rekannya, Grav. Dia adalah jago tembaknya.
Grav tanpa diberi perintahpun segera melancarkan tembakan dari balik dinding pelindung, ragu-ragu. Abigail mengintip apa tembakannya mengenai mereka, namun yang dia lihat hanyalah seorang dari mereka sedang maju menggempur Grav.