Pagi-pagi buta, Zedania bersama dengan Doron dan Elaine merapikan bar mereka. Doron dan Zedania menyusun bangku, melap debu dengan waslap sedangkan Elaine menyiapkan cangkir-cangkir kayu di atas mejanya.
Setelah itu, Elaine menyiapkan sarapan untuk mereka. Zedania menanti sambil mengisi ulang peluru keenam pistol flintlocknya. Dia menusuk peluru bola dari mesiu ke dalam lorong pistolnya satu persatu. Dia tak perlu mengedipkan sebelah mata agar akurat menusuk karena dia hanya memiliki sebelah mata. Mata kirinya tertutup kain gelap yang sekaligus menutupi sedikit rambut putih di telinganya dan seluruh rambutnya yang berwarna putih selebihnya ditutupi oleh topi kupluk berwarna hitam. Doron di sebelahnya sibuk mengelap ketiga pedangnya sampai mengilap.
"Sarapannya sudah siap!" Elaine meletakkan dua mangkuk sup hangat lengkap dengan sendok ke meja. Dia kemudian mengambil sup miliknya lalu duduk untuk memulai sarapan bersama mereka.
Zedania mengawaskan keenam pistolnya, meletakkannya ke atas jubah hitamnya dan mulai makan bersama mereka. Sayuran hangat menyentuh lidahnya. "Mm, enak."
Adiknya tertawa pelan, senyumnya melebar. Kehangatan menyentuh dada Zedania. Hanya senyuman adiknya itulah yang membuat dia semakin lahap menghabiskan sup yang biasa-biasa saja. Doron disampingnya turut memuji dan beradu cepat menghabiskan sup dengannya. Ketiga pedangnya telah tersampir pada punggungnya.
"Kau sudah punya pekerjaan baru, Zed?" Doron memulai percakapan. Sup miliknya sudah habis dan Elaine menyuguhkannya secangkir air bening.
"Belum lagi." Dia menggeleng. Di Libion ini, dirinya tak cukup terkenal hingga dia bisa memiliki banyak klien untuk menyewa jasanya. Tak ada klien, berarti tak ada uang yang mengalir kepadanya. Usaha bar milik mendiang ayah angkatnya juga tak bisa terlalu diharapkan. Bar ini lebih sering sepi daripada ramai, pesaingnya banyak di kota. Terlebih lagi, lokasi bar mereka yang menurut Doron tidak strategis; tepat di ujung selatan, menyatu langsung dengan dinding pertahanan kota, serta jauh dari gerbang dan jalanan utama. Doron pernah menawarkan mereka menjual tempat ini dan membuka usaha baru di tempat lain, dia menolak. Bar Slaint adalah satu-satunya hal yang ditinggalkan ayah mereka dan dia tak mau tempat ini tutup.
"Kudengar orang-orang Colt akan memulai pesta ulang tahun perusahaan mereka beberapa hari lagi," kata Doron. "mungkin kau bisa menanyai mereka. Aku bisa menemanimu jika saja pekerjaanku sudah selesai. Bandit yang kukejar ini, dia jago sekali bersembunyi. Klienku sampai marah-marah padaku, tak becus katanya."
"Mungkin pagi ini aku akan kesana." Tiba-tiba ketukan terdengar dari pintu masuk. Doron menggumamkan, "Pelanggan." Elaine segera bergegas membuka pintu, namun Zedania menghentikannya. "Biar aku saja."
Zedania membuka pintu dan melihat empat orang yang dikenalnya. Pak Faraga dan adik kembarnya, Forogo, seperti biasa, dengan tunik-tunik cokelat tuanya yang telah ketinggalan jaman, langsung menerobos masuk, meneriakkan susu hangat pada Elaine lalu segera membentang papan catur mereka ke atas meja. Namun dua orang lagi adalah orang tua Toin. Si bocah yang dipukulinya semalam karena berani-beraninya melamar Elaine. Mereka datang dengan kaus-kaus yang kainnya sudah luntur.
"Kalian mau apa? Jika Toin yang mau kalian bicarakan, sebaiknya tak usah." Zedania berhambur balik melanjutkan mengisi pistolnya, meninggalkan pak Anton dan istrinya yang menunjukkan wajah terkejut.
"Apa kau tahu tentang Toin, nak?" Pak Anton mendekatinya terlalu dekat. Tubuhnya menyentuh lengan Toin. "Jika kau tahu sesuatu tentang Toin, mohon beritahu kami. Semalam siang, dia pulang dengan wajah memar, lalu pergi lagi sambil membawa pedangku. Dia tak pulang lagi sejak itu."
Zedania tidak tahu itu. Dia tak pernah menerima balas dendam Toin semalam. Elaine yang membawakan dua cangkir susu ke meja si Kembar Tua melirik ke arahnya dengan wajah khawatir. "Lalu?"
Pak Anton menggaruk kepala kebingungan. "Jadi, apa kau tahu kemana Toin pergi?" Zedania menggeleng. "Kudengar dia menggumam Sekte Mata saat mengambil pedangku. Apa kau tahu dimana mereka bermarkas? Aku mendengar rumor tak sedap tentang mereka." Istri pak Anton mengangguk. Dia mengatakan betapa khawatirnya dia dengan keselamatan Toin.
Zedania kembali menggeleng. Dia tidak tahu apa-apa tentang Sekte Mata itu. Keenam pistol flintlock-nya telah selesai diisi peluru. Dia berdiri, mengalungkan keenam pistol itu ke pinggangnya.
"Apa itu saja yang mau kalian bicarakan? Jika tak ada, maka aku permisi. Aku harus mencari kerja." Dia kemudian mengenakan jubah hitamnya. Jubah itu menutupi seluruh tubuhnya dari leher hingga kaki, sekaligus menutupi enam pistol flintlock yang dia bawa—terkadang dia juga membawa pedang putih peninggalan ayah kandungnya, namun tidak hari ini. Zedania berpamitan dengan Doron dan Elaine, tapi kedua pasangan tua itu menghentikannya.
Mereka menatapnya penuh harap. Jemari istri pak Anton yang telah tua, gemetar mengulurkan sebongkah cincin dengan bermatakan batu putih mengkilap. "Jangan menolak, tolong. Bisakah kau mencari Toin untuk kami?"
Zedania mengambil cincin itu dan memperhatikannya. Selain batu putih mengkilap, tak ada hal menarik lainnya dari cincin besi itu. "Dan ini bayaran atas jasaku?" Mereka mengangguk. "Yang benar saja. Ini hanya cukup untuk secangkir susu!"
"Tidak! Itu tidak benar. Perhatikanlah batu cincinnya," pak Anton memerintahnya. Zedania menatap batu cincin dengan malas; batu putih mengkilap. "Itu adalah berlian, nak. Berlian asli. Kau lihat saja betapa cantiknya batu itu. Jika dijual, mungkin kau bisa mendapatkan beberapa keping emas untuk batu kecil ini saja. Gila, bukan?"
Memang gila. Satu keping emas itu adalah penghasilan harian bar mereka jika ramai. Jika ramai. Tapi batu kecil ini lebih berharga daripada anggur dan susu yang dia jual untuk sehari. Dia begitu tertarik. "Apa ini asli? Doron, kau tahu membedakan batu kerikil dengan berlian?"
Zedania melempar cincin itu pada Doron. Dia memperhatikannya, mengusap dan menghembuskan napasnya ke cincin itu bak seorang ahlinya. "Tentu ini bukan kerikil," katanya. "tapi aku tak begitu tahu membedakan berlian dengan batu putih lainnya. Tapi jangan khawatir. Orang bijak berkata bahwa mata para wanita itu berbeda. Elaine, tangkap!"
Elaine menangkapnya dengan tergopoh-gopoh. Dia sedikit tertawa malu lalu memperhatikan cincin itu dengan seksama. Matanya membulat. "Cantik sekali," katanya. Pasangan tua itu segera mengangguk-angguk puas. "tapi aku tak tahu membedakannnya. Aku bahkan tidak pernah melihat berlian asli."
Jantung Zedania bak ditusuk. Seorang gadis cantik sepertinya seharusnya memiliki banyak perhiasan berharga, tapi nyatanya adiknya bahkan tak pernah melihat sebuah berlian sekalipun. Kemudian pak Faraga bicara dari mejanya. "Itu berlian, bocah Zed. Percayalah. Aku mau menerima pekerjaan Anton, tapi dia menolakku. Dia mengatakan Toin mungkin akan lebih mudah dibawa pulang jika 'pahlawannya', Zedania, menjemputnya." Si Kembar Tua kemudian tertawa terbahak-bahak setelah mencoba mengejeknya.
Zedania mendiamkannya. "Pastikan itu berlian saat kau ke pasar nanti, Elaine. Tapi jangan dijual. Pakai saja itu di jarimu." Elaine mengangguk antusias dan memasang cincin itu ke jari manisnya. Adiknya menatap jemari mungilnya yang kini dihiasi cincin berlian. Zedania menanyai pasangan tua itu untuk informasi lebih lanjut. "Sekarang, apa saja yang kalian tahu tentang hilangnya Toin ini?"