Doron melewati jalan utama yang ramai. Orang-orang dari berbagai kalangan berlalu lalang. Pedagang kaya dengan kain-kain lembut membaluti tubuh mereka, duduk bersantai mengintip jalanan di atas pedati, dikawal oleh beberapa Merkenari. Ada juga orang dari perusahaan Colt—para pria dengan pakaian serba hitam dan topi melengkung. Mereka melangkahkan kaki ke dalam kerumunan, orang-orang segera memberi jarak untuk mereka. Begitupula yang terjadi kala Master-Master Ordo menampakkan diri disana. Tapi anak-anak kumuh tak peduli dan tetap melanjutkan bermain saling kejar di antara mereka, tertawa riang, sementara para Pelindung Kota memantau dari pinggir jalanan, membiarkan pagi itu berjalan dengan keceriaan.
Dia terus pergi ke utara dengan berjalan kaki. Perjalanan yang seharusnya singkat memakan cukup banyak waktu karena dia tak memiliki kuda. Di perjalanan, dia melalui tempat dengan harum kenangan. Bangunan lantai tiga perusahaan Colt, terbuat dari batu dan megah mengangkasa sebagai bangunan tertinggi di kawasan itu. Namun bangunan putih biru disebelahnya-lah yang menyimpan banyak masa-masa manis. Bangunan Ordo Magis. Berbentuk persegi dengan halaman luas untuk tempat pelatihan dan sekolah, sekaligus tempat dimana dia menghabiskan masa kecilnya.
Dia menghentikan mengenang masa lalu dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi seorang gadis muda, setahun dibawah umurnya, keluar dari bangunan Ordo. Stella mengenakan jubah panjang berwarna kuning keemasan. Pundak jubahnya bercorak garis-garis melengkung yang cantik dan jubahnya diikat oleh ikat pinggang berbentuk tinju yang terbakar. Gadis itu menyapanya, melambaikan tangannya yang memakai sarung tangan putih mengkilap--sebelah lagi tidak.
Dia kikuk. "Eh, hai, Stella."
Stella berlari kecil mendatanginya. Rambut hitamnya yang dikuncir seperti ekor kuda, bergoyang-goyang anggun. Stella menarik napas panjang lalu melukiskan senyum diwajahnya. "Doron si Pedang Terbang!"
"Stella si Master Ordo!" balasnya bercanda, menertawai julukan mereka berdua.
Mereka melepaskan tawa kerinduan. Rindu akan hari-hari yang telah menjadi kenangan, berlatih dan belajar Magis serta membicarakan masa depan dan cita-cita. Tak ada dari mereka yang memulai percakapan setelah saling sapa. Senyum canggung saling mereka lepaskan, sebelum Doron akhirnya memulai percakapan.
"Bagaimana kabar ... siapa namanya, aku lupa. Yang tampan, yang kau bilang kau suka padanya," ujar Doron. Dia menelan ludahnya kuat-kuat. Dia tak suka membicarakan ini.
"Ah, dia. Lupakan saja!" Stella menggeleng mual. "Dia banci! Dia bahkan sudah lama keluar dari Ordo. Wajahnya saja yang tampan tapi kemampuan dan mentalnya nol besar. Bisa-bisanya dia menangis saat kalah latih tanding. Menyalahkan lawannya, yang katanya terlalu tua untuk menjadi lawannya. Tak seimbang katanya." Doron turut bahagia karena Stella tak buta memilih pasangan. Dibandingkan orang itu, dirinya memang kalah menawan, tapi kemampuan Magisnya tak banyak orang yang mempertanyakan.
"Tapi," lanjut Stella. "aku lambat sekali menyadari. Padahal ada pria tampan dan tangguh disekitar sini."
Doron memaksa dirinya untuk tidak tersenyum. "Siapa?"
Stella menunjuk bangunan perusahaan Colt dengan tangannya yang memakai sarung putih. "Kepala perusahaan Colt di Libion, Cardwell Colt!" Stella melompat senang, menepuk-nepuk wajahnya dengan girang. "Dia tampan, tubuhnya oke dan juga seorang yang disegani oleh banyak orang. Karismanya, uhh, begitu menggairahkan. Saat dia bertamu ke Ordo beberapa hari yang lalu, bahkan orang yang lebih tua darinya membungkuk saat bicara dengannya. Jangan tanyakan wajahnya, mata yang tajam, pipi yang tirus. Idaman!"
Doron tertawa canggung. Bodohnya dia mengira Stella akan menyebut, "Kau."
Dadanya tak nyaman, hatinya gundah. Dia mengingat dia harus mengunjungi kliennya. Dia pamit pada Stella, meninggalkan gadis itu yang dengan cemberut melepas kepergiannya. Pertemuan yang singkat tapi membawa hal yang sangat tak dia inginkan. Hal yang dia kubur dalam-dalam. Stella melambai padanya, menyuruh dia untuk berkunjung jika ada waktu. Dia masuk ke jalan berikutnya dan menguatkan diri untuk tak akan berkunjung walau dia punya waktu.
Beberapa menit berjalan melewati keramaian pagi. Pikirannya pergi ke masa-masa dulu. Dia masih kecil, masih bocah. Ayahnya membawanya untuk menuntut ilmu di Ordo. Saat dia masuk untuk pertama kalinya, dia bertemu dengan Stella. Gadis kecil, kurus namun begitu mendominasi bocah-bocah lainnya, termasuk dirinya.
Hari pertamanya masuk segera diminta untuk latih tanding dengan Stella, yang pada saat itu adalah murid terbaik pada kelas anak-anak. Stella benar-benar mempermalukannya dan menertawai kekalahannya. Sejak saat itu Stella bahkan tak merespon sapaannya. Dia tak dianggap. Seolah, dia lenyap dari sudut pandang gadis itu.
Setahun kemudian, setelah belajar dengan giat, hari yang dia tunggu akhirnya tiba. Latih tanding diadakan lagi. Dirinya melawan Stella. Dia begitu antusias untuk membuat gadis itu menyadari bahwa dia bukan orang yang pantas dianggap remeh. Dia akan menang! Mereka bertarung sengit dan kali ini, Doron berhasil menghilangkan keseimbangan Stella. Tapi gadis itu begitu lincah dan lihai dengan ukuran tubuhnya. Sedetik kemudian, dia mendapati dirinya dihempaskan Stella ke lantai.
Namun hari itu Stella menang tanpa menertawainya. Lalu setahun kemudian, giliran dialah yang membanting gadis itu ke lantai. Itu adalah hari dimana Stella menganggap Doron ada dan hubungan mereka menjadi dekat. Betapa puasnya dia kala itu. Namun Stella tak memandang dirinya seperti bagaimana dia memandang gadis itu. Pemuda tampan, baik anak pedagang dan rakyat biasa, dia akan menunjuk pemuda itu lalu bercerita begitu semangatnya tentang betapa tampan dan menawannya mereka. Doron sekejap itu, tak dianggap lagi oleh Stella, seperti tadi.