Mereka kembali ke rumah. Elaine menyambut mereka dengan panik dan membantu Zedania duduk di meja pelayan. Dia sibuk mencari waslap dan air sementara Si Kembar Tua dan Pak Anton datang menghampiri.
"Kenapa wajahmu sampai bengkak seperti ini?" tanya Pak Faraga serius. Dia memperhatikan kondisi Zedania dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Aku dipukuli," jawabnya. "ada yang mengganggu pekerjaanku."
Pak Faraga menyentuh gagang pedangnya. Wajahnya yang telah keriput dan tubuhnya yang mulai membungkuk tetap dapat mengeluarkan perasaan ngeri bagi siapapun yang melihatnya. "Mana orang itu, tunjukkan padaku. Lain kali saat kau keluar mencari Toin, aku akan ikut."
Sebelum Zedania sempat menyebut namanya, Doron menengahi. "Tak perlu sampai sebegitunya, Pak. Mereka salah paham dan mereka sudah baikan."
Pria paling tua di ruangan itu menyipitkan mata. "Kau bisa memanggilku kapan saja, Zed. Aku akan membantumu, pasti. Ayahmu Slaint dan aku bagai keluarga, dan keluarga saling membantu," kata Pak Faraga, dan adiknya Forogo menganggukkan kepala setuju. "Jadi bagaimana dengan Toin?" Pak Anton disisinya segera antusias menanti jawaban Zedania sementara Pak Forogo tetap diam, hening tanpa ekspresi.
"Aku belum menemukannya, namun aku punya petunjuk kuat." Lalu Zedania mendapati Elaine datang membawa ember berisi air dan kain waslap. "Pokoknya tidak usah khawatir. Aku akan membawa pulang Toin, itu pasti."
Mereka mengangguk paham. Doron menerima ember Elaine namun Zedania merebutnya. "Biar aku saja," katanya. Dia berjalan pergi ke kamarnya di lantai dua. "bangunkan aku jika sudah malam. Ada kemungkinan Chops akan kembali ke bar untuk menjemput barang-barangnya."
Lalu Zedania teringat dengan pistol flintlocknya. Keenam pistolnya dilucuti Abigail dan dibuang saat mereka bertarung di Bar Chops. Dia berbalik menatap Doron. "Bisa kau ambilkan pistolku dari barnya Chops?"
Doron mengangguk dan mengangkat jempol. "Tenang saja, saat kau bangun, pistol itu pasti sudah ada di atas meja."
Zedania melanjutkan pergi ke lantai dua. Sebuah lorong kecil menampakkan empat ruangan. Satu kamar untuk masing-masing dari mereka dan satu lagi kamar kosong, kamar milik mendiang ayahnya, Slaint. Sekarang kamar itu menjadi gudang tempat penyimpanan barang. Dia masuk ke kamarnya, melepas topi kupluk serta penutup mata dan segera membasuh luka-luka dengan kain waslap.
Abigail. Perangai sok dan pukulan yang gila kuatnya itu mengingatkannya pada Bian, abang kandungnya yang lebih tua dua tahun darinya. Mereka sering berlatih bersama, di bawah sinar matahari. Berlari di antara sawah-sawah dengan ayahnya Bize dan ibunya memperhatikan mereka tertawa riang. Hari-hari yang dia rindukan.
Namun sekarang yang tersisa dari semua itu hanyalah dirinya dan sebilah pedang putih yang jarang dia bawa. Pedang itu tersangkut rapi, tersampul sarung dibalut kain di atas dinding. Pedang Penumpas, Pelenyap. Bian memanggil pedang itu dengan berbagai nama untuk mewujudkan kemampuan pedang itu yang bisa menumpas sekaligus melenyapkan Magis. Sekuat apapun Magis itu.
Dia membaringkan diri di ranjang, menatap ke jendela yang menghadap langsung ke dinding beton kota Libion. Kosong dan dingin. Tak ada yang bisa dia lihat. Dulu dia merasakan hal itu, dulu dia merasa kosong. Namun ada ayahnya Slaint dan Elaine yang mengisi kekosongan itu untuknya. Menggantikan ayah kandung dan abangnya yang telah tiada, tertimbun reruntuhan rumah lamanya.
Dia datang saat rumah kecil mereka telah terbakar dan roboh. Parang di tangannya dan empat orang, ketakutan menghadapinya. Empat orang yang tak dapat dihadapi ayahnya Bize dan abangnya, tak berkutik banyak dihadapan Slaint.
Satu dari empat orang itu tak dapat dia lepaskan dari benaknya. Tidak seperti manusia pada umumnya yang tubuhnya diselimuti Bebatuan dan Api Magis, orang itu diselimuti sisik-sisik emas. Cakarnya panjang dan mengeluarkan api panas keemasan. Api itu terbang ke wajahnya, membakar sebagian wajahnya. Menghanguskan bola matanya. Bekas luka yang akan dia bawa selamanya sampai dia mati.
"Zed, Zed!" Seseorang meneriakkan namanya. "Sudah malam, bangun!"
Zedania membuka mata. Doron masih berteriak dari luar kamar. Dia menyahut dan segera bangkit. Pria tegap itu menyambutnya dengan senyuman mengejek.
"Bagus, sekarang kau sudah lebih percaya diri menunjukkan rambut putih dan wajah sangarmu itu."
Zedania segera tersadar dia tak mengenakan topi kupluk dan penutup mata, menampakkan kecacatan dirinya. Dia bergegas mengambil topi dan menyarungkan penutup matanya.
"Oh, ayolah, kau langsung merajuk karena itu?" Doron masuk ke ruangan dan mengganggunya bersiap-siap. "Kau lebih tampan dengan rambut putih yang tergerai. Lihat saja Raja Rafael dan Putri Malael. Betapa anggunnya mereka!"
"Rambut mereka putih karena mereka berdarah sang Malaikat," jawabnya ketus. "tapi rambutku putih karena aku nyaris gila, ketakutan hingga tak berhenti menangis sampai sebulan penuh. Bedakan, bodoh."
"Ah, coba saja dulu!" Doron melepas topi kupluknya dan menjauhkannya dari dia. Rambut putih panjang Zedania dia sibak berantakan. Zedania menyuruhnya berhenti dan mencoba merebut topinya kembali, namun Doron bersikap curang dengan menerbangkan topi itu ke langit-langit kamar dengan Magisnya. "Coba sedikit senyum dan turunkan ponimu. Kau bisa memanjangkan sebelah ponimu jika kau mau rambutmu menutupi bekas lukamu. Tapi aku sih tidak masalah jika kau tunjukkan. Mungkin kau bisa mendapatkan julukan Merkenarimu kelak karena itu? Zedania si Wajah Terbakar!"
"Zedania si Kematian Tak Terduga jika kau terus-terusan menganggu," jawabnya ketus. Doron menurunkan topi itu ke atas kepala Zedania dan memasangnya baik-baik.
"Kau sungguh saudara yang baik karena ingin mengirimku ke surga sebegini cepat." Doron tertawa. Dia kemudian menunggu Zedania berpakaian sebelum mereka berdua ke bawah.