“Apa katamu? Ada siswa baru?” tanyaku yang tengah duduk dengan tidak semangat.
“Iya, Nevan, ngomong-ngomong katanya dia berasal dari Jakarta.”
“Ferdi, bisakah kau hentikan, aku sudah muak dengan percakapanmu yang setiap hari selalu saja membawa berita tentang siswa baru.”
Aku kemudian menatap ke jendela. Langit sangat cerah pada hari ini. Memandangi langit adalah kebiasaanku sejak dulu. Entah apa alasannya, namun aku sangat menyukainya. Mengenai temanku Ferdi yang merupakan teman pertamaku saat aku masih MOS. Dia lebih tinggi daripada aku, lebih berisi, rambutnya sangat rapih dan juga berwarna sedikit kebiruan. Meski begitu dia selalu saja di datangi oleh perempuan-perempuan di sekolah ini.
Namun, aku sering menghindar agar tidak merusak popularitas Ferdi di sekolah ini. Meski begitu aku pada dasarnya memang tidak tertarik dengan perempuan saat ini. Mengingat masa laluku saat aku masih SMP.
“Ngomong-ngomong, kau masuk Klub Sastra bukan?” tanya Ferdi yang membenahi dasinya.
“Iya, memang mengapa?”
“Aku ingin bergabung. Aku sangat tertarik dengan Sastra.”
“Ho, begitu rupanya, mungkin nanti sore kamu bisa hadir.”
Waktu masuk masih lama kurang lima belas menit lagi. Aku sungguh bosan. Tanpa kusadari terus-terusan menatap jendela, tiba-tiba saja ada yang memukul mejaku dengan sangat keras. Aku kemudian terkejut hingga aku terjatuh dari bangkuku. Satu kelas pun menatap padaku.
Seorang siswi dengan rambut pirang berdiri di hadapanku. Seragam nelayan yang berwarna hitam dengan rok di atas lutut dan juga kaos kaki panjang yang tidak sampai menyentuh lutut. Aku tidak tahu mengapa seragam di sekolah ini mirip sekali dengan seragam yang ada di Jepang. Untuk seragam para pria hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Sungguh mirip sekali dengan Negeri Bunga Sakura itu.
Mengingat SMA Surabaya adalah sekolah swasta yang terletak di kota Surabaya. Siswi dengan rambut pirang tersebut masih menatapku dengan penuh amarah dan kengerian. Hal ini sudah sering terjadi di ruang klub.
“Ada apa, Claris?”