Kiper Ketiga

Agung Satriawan
Chapter #3

Dari Kursi Penonton

"GOOOOOL!" teriak suporter Sriwijaya FC dari tribun seberang. Mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan atas gol ketiga dari tim kesayangan. Sedangkan Ludi hanya mendengus kecewa di tempat duduknya. Tempat duduk berupa kursi kayu panjang yang sudah lapuk, di belakang bench official tuan rumah. Timnya sudah kebobolan tiga saat pertandingan baru 20 menit.

"Ayah, kapan kita bikin golnya?" tanya Midu, anak laki-laki Ludi.

"Mudah-mudahan sebentar lagi, nak." jawab Ludi ragu.

"Aku bosan nonton Persetan. Udah lama nggak bikin gol!" keluh Midu sambil melihat jersey Persetan gombrong yang ia kenakan. Ludi diam berkecamuk pikiran. Hanya mampu memandang teman-temannya berjalan ke lapangan tengah untuk melakukan kickoff. Setelah ia ingat-ingat, anak laki-lakinya memang belum pernah menyaksikan gol dalam musim ini. Sekalinya ada gol, dia tidak ikut nonton.

"Coba kalau kipernya ayah, pasti nggak kebobolan!" seru Midu lagi. "Pasti nggak bakal kalah!". Ucapan itu terdengar pelan tapi seperti berulang-ulang, terngiang-ngiang, menusuk kepala Ludi. Ia tesenyum ke arah anak lelaki delapan tahunnya, mengusap rambutnya yang jarbik. Berandai-andai kalau anaknya sempat melihat dirinya bermain sebagai kiper dan melakukan penyelamatan. Kejadian yang baru Midu alami saat melihat dirinya berlatih sebagai kiper cadangan yang masuk di babak kedua, menggantikan kiper kedua.

Ya. Bahkan dalam latihan, Ludi menjadi pemain cadangan.

"Om Gustam mah payah!" keluh Midu.

Ludi menggeleng. "Nggak." bantahnya. "Om Gustam nggak payah. Pemain belakangnya yang kurang konsentrasi. Nggak menempel pemain lawan dengan ketat. Terkesima dengan pemain lawan yang sedang membawa bola.". Ludi mengucapkan itu sambil melakukan gerakan tangan yang menggambarkan maksud kalimatnya. Membuat Midu terpaku pada gerakan tangannya.

"Coba dong ayah kasih tau teman-teman ayah!" pinta Midu.

Ludi menggeleng lagi. "Itu bukan tugas ayah. Itu tugas pelatih."

"Tugas Pak Udin?" tanya Midu.

"Iya." angguk Ludi.

"PAK UDIIIIN!"

"Heh, ngapain?" tanya Ludi menahan bahu Midu yang teriak ke arah Pelatih Udin di pinggir lapangan depan bench. Pelatih itu menoleh ke arah tribun tempat Ludi dan Midu. Tidak sulit menemukan ayah-anak yang duduk di tribun yang sepi. Pelatih Udin tersenyum dan melambai ke arah Midu. Merasa ada fan cilik yang ingin sekali bersalaman dan minta tanda tangannya. Ia memberi isyarat tangan yang berati 'nanti kalau mau foto dan tanga tangan'. Pria 57 tahun berambut penuh uban itu memang selalu merasa dirinya masih berada di masa jaya.

"PAK UDIIIN! KASIH TAU DONG PEMAINNYA! KONSENTRASIIII!"

Ludi langsung panik, menyuruh Midu duduk sambil menyumpal mulutnya. Ia berharap teriakan Midu tadi tidak didengar oleh Pelatihnya.

"Iya, nanti boleh fotoooo!" balas Pelatih Udin dari pinggir lapangan. Sempat-sempatnya nyahut, padahal timnya sedang diserang. Salah paham pula. Tapi untung salah paham, pikir Ludi. Ia tidak mau dianggap punya anak yang lancang terhadap pelatihnya. Itupun kalau Pelatih Udin bisa melihat bahwa anak yang berteriak berada di samping kiper ketiganya, karena Pelatih Udin sudah rabun. Beberapa kali Pelatih Udin salah panggil pemain waktu memberi instruksi dari pinggir lapangan. Malah pernah pemain lawan dia nasihatin. Bahkan kadang-kadang Ludi merasa bahwa Pelatih Udin tidak sadar bahwa beliau punya kiper ketiga berupa dirinya. Maklum, Ludi lebih sering berlatih bersama pelatih kiper ketimbang pelatih utama. Malah, saking minimnya staff Persetan, Ludi sering merangkap sebagai pelatih kiper dari kiper utama dan kiper kedua. Jadi, latihan Ludi adalah melatih. Namun karena itu pula, selain karena usianya yang paling tua, Ludi memiliki posisi yang cukup disegani. Ludi dianggap pemain yang bisa mengayomi pemain lain.

Satu gol lawan kembali tercipta pada menit 43. Gol lewat sepakan pojok yang disundul pemain belakang lawan. Kedudukan 0-4. Membuat Ludi membanting botol air mineralnya ke dekat kaki, lalu mengambilnya lagi karena melihat anaknya melotot, tak suka ayahnya melakukan aksi kekerasan dalam stadion. Suporter lawan kembali bersorak. Ludi menyempatkan diri melihat ke tribun atas di belakangnya. Walikota tampak marah-marah lalu geleng-geleng kepala. Ajudan dan pejabat-pejabat di sekelilingnya menampakan gerak yang sama. Mirip adegan headbang nonton konser Metallica. Ludi membatin sambil melihat walikota. Seandainya walikota lebih serius dalam membina klub yang membawa nama kotanya.

Peluit panjang dua kali terdengar menggema di stadion, meski langsung tertindih sorak sorai dari tribun suporter tim tamu. Kedua kesebelasan berhenti berebut bola, berjalan menyisi, lalu masuk ke dalam kamar ganti. Ludi ikut beranjak, menggandeng tangan anaknya berjalan menanjak menuju pintu lorong kemudian menurun menuju ruang ganti. Ludi selalu bisa melakukan hal ini ketika Persetan main di kandang meskipun bukan pemain terdaftar, karena saling kenal dengan semua panitia pelaksana pertandingan.

Ketika Ludi sampai di ruang ganti para pemain ada yang sedang kipas-kipas pakai handuk, minum teh pucuk, dipijat, akupuntur, makan nasi kucing, dan main ludo, sementara Pelatih Udin berjalan mendekati papan taktik putih dengan sebelas pin hitam menempel, membentuk formasi 4-4-2, menindih coretan-coretan spidol non permanen. Tanpa mengulas pertandingan babak pertama, Pelatih Udin langsung memberi arahan yang spesifik pada beberapa pemain. Ludi ikut menyimak di kursi dekat loker terujung, setelah membiarkan Midu mengoprek bola di lorong ruang ganti.

Lihat selengkapnya