CHAPTER 1
LELAKI BERTOPENG SORBAN
Jingga tersentak dan seakan hendak roboh tapi seseorang menahannya, seorang laki-laki dengan menggunakan jaket kulit berwarna coklat panjang selutut dengan bordiran gambar elang di bagian belakang. Wajahnya hingga rambutnya di tutup sorban berwarna abu-abu hingga hanya matanya yang terlihat.
“Bagaimana hasilnya ?” tanya laki-laki itu.
Jingga terlihat masih pucat, saat itu dia duduk bersila di atas sebuah batu yang cukup besar. Semula dia memejamkan mata dan berkonsentrasi dengan sikap meditasi namun setelah beberapa saat dia seperti tersentak dan hampir jatuh namun laki – laki bertopeng sorban itu menahannya. Mereka berdua berada di tepi hutan.
“Aku tidak bisa lebih lama..” jawab Jingga. “Tapi aku bisa melihat sebuah perisai gaib mengelilingi perbatasan Alas Geni”.
Wajah Jingga terlihat pucat dan tangannya gemetar, laki-laki itu membantunya turun dari batu besar itu lalu menatap wajahnya.
“Kamu tidak apa-apa ?” tanya laki-laki itu.
“Iya.. aku hanya perlu istirahat”, jawab Jingga.
“Kembalilah pada Banyu dan pergilah ke Padepokan Teratai Putih sesuai rencanamu semula..”
“Bagaimana denganmu ?”
“Masih ada yang harus aku cari..”
Jingga dan laki-laki bertopeng sorban itu berjalan keluar dari tepi hutan menuju jalan. Dan di jalanan yang sangat sepi itu ada delapan motor yang semuanya dalam posisi jatuh, dan satu motor yang masih berdiri. Sekitar sembilan orang tergeletak semua di tengah jalan. Satu di antara yang tergeletak itu adalah Banyu, sepupu Rama yang bertugas mengantar Jingga ke padepokan. Anak Jingga yang bernama Raga Andika tampak sedang duduk di satu-satunya motor yang masih berdiri di jalan itu. Jingga lalu mendekati Banyu yang tergeletak pingsan dan memeriksanya.
“Bagaimana keadaannya ?” tanya laki-laki bersorban itu.
“Dia hanya pingsan..” jawab Jingga. “Aku rasa dia baik-baik saja”.
Laki-laki itu mengangguk lalu dia menggendong anak Jingga yang terlihat tersenyum senang dan memeluknya.
“Lebih baik dia bersamaku..” kata laki-laki itu. “Agar perjalananmu ke padepokan lebih aman”.
Jingga mengangguk, “Aku percaya padamu.. dan terima kasih.. kamu datang tepat waktu, kalau kamu terlambat entah apa yang terjadi karena..”
“Sudahlah..” potong laki-laki itu. “Cepat sadarkan Banyu, dan lanjutkan perjalananmu”.
Laki-laki itu lalu menaiki motornya, menaruh anak Jingga duduk di depannya. Sesaat kemudian dia pun melesat meninggalkan Jingga di jalanan yang sepi itu. Jingga lalu kembali mendekati Banyu yang masih tergeletak pingsan itu.
“Banyu.. Sadarlah.. Bangun..”
Jingga mengguncang tubuh Banyu dan sesekali menepuk nepuk wajahnya agar terbangun, namun Banyu tetap belum sadar.
“Banyu.. Bangun !” serunya. “Bangun sebelum para penjahat itu bangun lebih dulu !”
Setelah beberapa saat Banyu mulai membuka matanya perlahan, pandangannya masih kabur namun perlahan menjadi jelas.
“Jingga ?” sapanya. “Apa yang terjadi ?”
“Kita harus pergi secepatnya dari sini.. sebelum mereka bangun..” kata Jingga sambil membantu Banyu berdiri.