Kirari

IBU KYOKO
Chapter #1

01. Jakarta Biru

Jakarta, Februari 2018

Di sebuah ruangan luas berdinding putih dan berlantaikan karpet cokelat, duduk seorang perempuan memakai blazer batik warna ungu bercampur biru. Matanya berusaha mengeluarkan ekspresi hangat meski hati asli merasa dag dig dug. Satu meter di depannya duduk tiga panelis yang sedang membuka berkali-kali CV dan essay dari wanita berumur 26 tahun itu. Semua nampak serius mencari pertanyaan apalagi yang harus dilontarkan.

Berdasarkan hasil analisa dari Kirari, nama dari gadis tersebut, bahwa di setiap wawancara beasiswa biasanya terdiri dari dua orang ahli, satu orang perwakilan lembaga pemberi beasiwa/ lembaga masyarakat dan satu orang psikolog. Ketika semua pertanyaan yang cukup ilmiah sudah dilontarkan maka yang diwawancarai harus sudah siap dengan pertanyaan “khas” dan mendekati abstrak lainnya.

“Jadi mbak sempat menjadi wartawan di Jakarta Press, lalu tiga setengah tahun bekerja di research institute, kenapa baru saat ini tertarik untuk S2?” 

Kirari sudah menduga pertanyaan ini akan muncul.

“Saya jujur merasa bahwa saya orang yang rata-rata, namun saya tidak mau keputusan S2 saya adalah rata-rata juga. Dari sejak S1 saya sudah ingin menjadi peneliti. Peneliti yang benar hasilnya bisa digunakan untuk bangsa sendiri. Oleh karena itu, saya masuk ke institut riset swasta dan melatih argumen saya dalam bahasa asing dengan menjadi seorang wartawan di Jakarta Press.”

Kirari menghela napas sedikit.

"Setelah saya merasa sudah mengetahui keadaan lapangan dan level kemampuan analisa saya naik. Maka sudah saatnya saya mendaftar S2 dan selanjutnya S3 jika saya anggap perlu." Kirari mantap menjawab. 

“Oh begitu..semua calon awardee (penerima beasiswa) bilang akan berkontribusi dengan riset aplikatif ya, semoga yang ini bukan template jawaban agar keterima lho mbak,” berkata Ibu sang panelis ketiga sambil tersenyum, entah tulus atau sinis.. dan melanjutkan, “Mbak yakin ya tidak akan kepincut orang Jepang sana terus lupa balik ke Indonesia?” 

Ya! muncul juga pertanyaan abstrak ini, artinya proses wawancara sudah mencapai titik akhir. Kirari sedikit tersenyum. “Wah enggak lah, Bu, Insya Allah lokal lebih baik.” Kirari berusaha tertawa yang dibuat manis. “Lagipula juga orang Jepangnya tidak mau sama saya, Bu.” Jawaban Kirari sontak membuat semua panelis tertawa terbahak-bahak.

“Bisa aja nih Mbak, awas ya Mbak, ” canda bapak panelis yang duduk paling kiri. Ternyata bapak ini bisa juga tertawa, padahal mukanya paling serius sejak awal. Si gadis pelontar jawaban pun merasa syok, memang ketika kepepet semua jawaban ajaib bisa terucap.

Dua minggu pasca seleksi wawancara Beasiswa Negara Indonesia (BNI) , Kirari masih memikirkan jawaban yang dia lontarkan. Dia takut mengeluarkan kalimat yang terlewat bodoh, atau apa yang dia katakan ternyata tidak bisa dia realisasikan. Ahh, bisa tidak sih wawancaranya diulang?

Hari-hari menunggu pengumuman beasiswaa, Kirari isi dengan beribadah lebih kencang di sepertiga malam. Meski acap kali Kirari kesal kepada diri sendiri, kenapa harus ketika mepet begini dia justru sering mengadu kepada Allah? Bukankah Allah Maha Mendengar dan justru meminta HambaNya untuk sering mengadu padanya? ah…

Menunggu hasil wawancara itu pun selaras juga dengan naiknya waktu Kirari terhadap media sosial, tidak terkecuali instagram. Seperti sekarang, gadis dengan tinggi lebih menjulang dibanding teman-temannya itu duduk terpaku pada smartphone nya. 

Matanya sibuk melihat teman-teman sekampusnya di Institut Teknologi Bandung dulu yang terlebih dahulu lulus S2 dan mulai masuk ke jenjang S3. Berfoto gagah dan elegan menggunakan toga. Ada yang memakai gaun cantik dan berpose dengan suami serta anak-anaknya (yang juga gagah dan cantik). Selanjutnya tak lupa harus dengan latar belakang rumah mewah ditambah hashtag #superfamily. 

Lihat selengkapnya