Bandung,
September 2011.
“Mau jadi kepala UNESCO? Wow.” Thalhah dan Kirari berdecak kagum saat mendengar target Kurokawa dalam 20 tahun ke depan. Hari itu, 10 hari sebelum Kurokawa dijadwalkan pulang ke Tokyo, Thalhah dan Kirari mengajak Kurokawa untuk mencoba toko kue spesialis cheesecake yang berlokasi di daerah Dago.
“Iya, sebenarnya karena Ayah ingin saya bekerja dan menetap di New York. Untuk siapapun saya bekerja tidak masalah, yang penting tinggal di kota New York.” Kurokawa memotong blueberry cheesecake tart yang ada di depannya menjadi empat bagian rapi dan memasukkan 1 potong ke dalam mulut. “Ayah saya selalu mengagumi kota itu dan mengajak saya untuk menonton film Hollywood berlatar New York setiap akhir pekan.” Kurokawa bercerita sambil melanjutkan potongan kue yang kedua dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang tisu basah, mengelap meja yang tidak terlihat kotor di mata Kirari dan Thalhah.
“Bahasa Inggris. Ayah ingin Bahasa Inggris saya bagus agar bisa ke New York suatu saat. Sehingga, meskipun amat mahal, Ayah menyisihkan gajinya untuk membelikan saya buku Bahasa Inggris dan menyekolahkan saya di SD dan SMP mahal di Tokyo.” Bibir Thalhah dan Kirari tersungging mendengar penjelasan Kurokawa tentang obsesi Ayahnya akan Bahasa Inggris, karena hal itu tidak asing mereka lihat pada orang Jepang.
“Kalian ada rencana apa setelah lulus nanti?” Kurokawa balik bertanya kepada Kirari dan Thalhah. “Sekolah di Belanda.” Thalhah berkata mantap, “karena aku belum pernah menetap di luar benua Asia.” Kirari tahu Thalhah selalu ingin mencoba untuk tinggal di berbagai kota di dunia, berbeda dengan Kirari. Untuk dirinya, kembali ke Jepang adalah kondisi yang dia idamkan. Melihat sakura selama dua minggu setelah musim dingin yang panjang, melihat bunga ajisai (hydrangea) yang cantik sebagai tanda musim hujan akan dimulai.
“Kau tahu, Jepang itu seperti rumah kedua. Saya selalu berfikir untuk kembali lagi ke sana dan mengejar gelar tertinggi yang saya bisa kejar. Saya ingin kuliah di tempat terbaik di Jepang.” Muka Kirari terlihat bercahaya, seperti dirinya disengat oleh semangat yang mampu menjalar ke orang yang ada di sekitarnya.
“Jujur saya tidak mengira bahwa perempuan dengan pakaian sepertimu..” Kurokawa menunjuk jilbab Kirari dengan telapak tangan kanannya, “punya pikiran sejauh itu untuk belajar. Nampaknya caraku memandang dunia masih sempit.”
Mendengar Kurokawa berbicara seperti ini membuat Kirari yakin bahwa seorang wanita harus mempunyai semangat tinggi untuk belajar ke berbagai belahan bumi Allah SWT, mengharumkan nama Islam tanpa menanggalkan kehormatannya sebagai muslimah.
Berbincang dengan Kurokawa adalah hal yang Kirari senangi. Kurokawa punya pikiran yang luas, semua pendapat Kirari didengar dengan telinga penuh oleh Kurokawa. Didengar lalu ditanggapi dengan maksimal, seolah Kirari adalah lawan berbicara yang setimpal. Bukan layaknya dosen yang sedang mengajari mahasiswinya. Bersama Kurokawa, perbedaan 8 tahun itu tidak terlalu nyata.
Kirari dan Kurokawa banyak berbincang bukan hanya tentang akademik, tetapi juga segala hal tentang kehidupan.
“Apa goal terbesarmu ketika sudah sampai di Jepang?”
“Apa yang kau suka tentang negerimu?”
“Menurutmu kenapa akhir-akhir ini konsumsi orang Jepang akan roti lebih tinggi dari konsumsi nasi?”
“Kenapa orang asing kerap terbalik mengira bunga plum sebagai bunga sakura?”