Kamis sore pukul 16.00 JST, Rie mengajak Kirari untuk makan sore bersama di restoran Italia di dekat kampus. Saat musim dingin, perut semakin mudah memanggil untuk segera diisi, sehingga sore pun rasanya sudah pas untuk dimulai makan malam.
Restoran Italia ini mempunyai dominan warna interior hijau dan kuning, dengan mahasiswa memadati isi ruangan. Banyak yang sambil mengerjakan tugas dan membawa komputer, sepertinya restoran ini digunakan untuk berlama-lama memakai internet gratis.
Kirari memilih foccacia dengan eskrim vanilla yang ditaburi bubuk kayu manis sebagai makanan pembuka. Menurut info dari senior di pengajian wanita Tokyo Tech, itu adalah satu dari sedikit dessert yang bisa dimakan. Roti kecil foccacia yang masih hangat berpadu dengan eskrim vanilla adalah kelezatan terbaik yang bisa didapat kurang dari satu koin 500 yen.Pantas saja restaurant ini masuk dalam kuliner ekonomis wajib mahasiswa asing di Tokyo.
“Kau tidak makan?” tanya Rie kepada Kirari sambil menyantap mentaiko pasta dengan rumput laut kering. “Aku selalu memulai makan dengan dessert”. Jawaban Kirari ini membuat Rie tersenyum kecil karena memilih dessert sebagai makanan pembuka juga merupakan kebiasaan seseorang yang dia amat kenal.
“Kau mau?” Kirari menyodorkan garpu baru kepada Rie.
“Tidak, aku tidak suka makanan manis.” Jawaban Rie ini membuat Kirari bingung, karena saat pertama kali Kirari bertemu Rie, seniornya itu sedang mengambil cokelat Apollo. Apa jangan-jangan cokelat itu untuk Kurokawa? Terka Kirari dalam hati.
“Kirari, bagaimana kuliahmu selama disini? Mata kuliah apa yang menurutmu berat?” Rie mulai membuka percakapan serius. Kirari berterus terang kepada Rie bahwa dia merasa takut tidak bisa berkontribusi dalam tim riset kecil yang dipimpin oleh Kurokawa Sensei tentang industri kain shibori di Arimatsu. Namun, dibalik rasa takutnya, Kirari senang karena dia tertantang untuk menyelami lebih tentang budaya dan tekstil tradisional Jepang. Kirari menjelaskan dengan mata penuh semangat, Rie seperti melihat pancaran mentari di depannya.
Mungkin semangat menggebu ini yang membuatnya tertarik padamu, Kirari.
Namun, aku merasa aku pun juga seperti itu. Bahkan lebih.
Hati Rie tak kuasa untuk membandingkan.
“Setelah lulus ini, kau akan kemana? berencana untuk mengambil S3?” Rie penasaran apakah Kirari tertarik untuk mengambil karir akademis seperti dirinya.
“Belum tentu, yang jelas aku akan kembali ke Indonesia. Hmm.. aku tertarik untuk mendaftar summer school ke Yonsei University.” Kirari menaruh piring bekas kuenya kepinggir dan mulai menyantap pepperoncino.
“Ah, aku bisa membantumu dalam membuat esai aplikasi, kalau kau butuh. Karena aku juga pernah mengikuti summer school saat S1 dulu. ke SOAS, London.” Tawaran Rie saat itu membuat Kirari tersipu, mulai saat itu dia merasa bahwa akhirnya dia mempunyai senior wanita di lab yang baik dan bisa diandalkan. “Dengan senang hati, senpai!” Hari ini diakhiri oleh pembicaraan yang menyenangkan dan Kirari bersyukur sekali.
“Ada yang ingin kau tanyakan padaku?” Rie mencoba memancing Kirari untuk mengeluarkan pembicaraan tentang Kurokawa. “Hmmm…aku takut ini kurang sopan jika aku tanyakan padamu. Tetapi kenapa kamu justru S3 di Tokyo Tech?” Kirari agak ragu untuk melanjutkan namun tidak kuasa menahan rasa ingin tahu .”Maksudku…pengalaman S2 di Australia itu bukankah sudah membuatmu untuk terus ingin berada disana?”
“Kau ini wartawan atau apa?” Rie terkejut karena pertanyaan Kirari jauh dari perkiraannya namun dia tetap menjawabnya. “Ayahku. Ayahku alasan kenapa aku balik ke Jepang.” Terlihat sedikit gurat sendu di muka Rie.