Pesta sudah berlangsung selama 45 menit dan malam itu sudah memasuki 20.15 JST, semua orang sudah mulai membuka kaleng bir, kecuali Kurokawa, Rahul dan Kirari.
“Kurokawa ini, dia sangat aneh. Kalau seperti ini terus, dia akan susah naik menjadi professor. Sudah selalu menolak diajak makan keluar, dia juga sekarang tidak minum alkohol.” Semua orang tidak bisa tidak mendengar racauan Okuda Sensei, karena biasanya beliau tidak pernah berbicara keras, namun kali ini suaranya bisa terdengar ke ruangan lain.
Jepang sangat terkenal dengan istilah nominication, yang terdiri dari dua kata “Nomi” dan “Communication.” Secara ringkas artinya adalah komunikasi yang terjalin dengan minum alkohol bersama, karena orang Jepang pada dasarnya bukanlah orang yang bisa terbuka berpendapat dan alkohol membantu mereka untuk mencairkan suasana hati. Ketidakmampuan Kurokawa untuk meminum alkohol, apapun alasan dibalik itu itu, bisa menjadi bantu hambatan besar baginya untuk menapaki karir di universitas.
Yang dibicarakan hanya tersenyum dan mulai mendekati Okuda Sensei. “ Sensei terlalu banyak minum sepertinya.” Kurokawa menyingkirkan gelas sake milik Okuda Sensei.
“Ryoma-kun, Aku bawa Sensei ke ruangannya dan kau tolong telefon taksi.” Kurokawa langsung bangkit dan menelfon taksi untuk membawa Okuda Sensei ke rumahnya. “Kalian lanjutkan saja ya pestanya, maksimal 22.30, jangan lupa matikan pemanas ruangan, lampu dan kunci ruangannya.” Kemudian Hashimoto Sensei keluar dari ruangan.
“Well, pesta tetap harus dilanjutkan.” Rie berdiri dan menaruh kaleng minuman choya sugar-cut di meja. Sebagai salah satu yang paling senior, Rie merasa berkewajiban untuk membuat pesta akhir tahun yang menyenangkan bagi anggota lab. “Aku terfikir untuk melakukan suatu permainan untuk membuat kita bisa saling mengenal lebih jauh.”
Rie memperkenalkan permainan “truth or dare”, sebuah mainan klasik sedikit bodoh yang Kirari tidak habis pikir masih bisa dilakukan oleh sekumpulan lelaki dan perempuan dewasa di umur 20 tahunan. Namun, Kirari tidak tau apa yang sebaiknya dia lakukan, karena dia tidak ingin dianggap anti sosial dan susah diajak kerjasama oleh senior perempuannya.
Akhirnya Kirari bertahan disitu, berfikirnya setidaknya ada Rahul dan Yu Joon. Lagipula, kalau dia telat mendapatkan kereta balik ke Odaiba, dia akan menginap di apartemen Kanna di dekat kampus, di daerah Ishikawadai.
Rie mengambil pulpen dan memulai permainannya. Aturan mainnya secara mudah adalah siapapun yang tertunjuk ujung pulpen harus menjawab pertanyaan ataupun melaksanakan tantangan yang diberikan secara acak oleh murid yang paling senior di lab. Pertanyaan pertama diberikan oleh Rie dan isinya cukup membuat Kirari pusing: “Siapa lelaki disini yang menarik perhatianmu.”
Kirari berdoa dalam hati agar ujung pulpen tidak akan pernah menunjuk dirinya atau Allah SWT berikan keajaiban dengan tiba-tiba Kanna mengetok pintu dan mengajak Kirari pulang. Tapi itu tidak mungkin, karena Kanna pasti sedang sibuk di labnya mengumpulkan bahan kelas seminar.
Beruntung Kirari, ujung pulpen itu mengarah ke Yuri, mahasiswa doktoral tingkat 1 yang selalu bersama dengan Rie kemanapun. Sontak Kirari merasa lega. Mereka teramat lega karena tidak usah memikirkan jawaban atas pertanyaan rumit tersebut.
Ya, pertanyaan itu rumit karena di dalam lab Hashimoto & Okuda Sensei hanya ada 4 laki-laki. 3 murid dan 1 asisten professor. Rahul dan Yu Joon ada di bawah Hashimoto Sensei yang Kirari ragu mereka berdua masuk ke dalam “batas ketampanan” Yuri. Meskipun jelas dua laki-laki tersebut tak akan berjuang agar masuk ke dalam kriterianya.
Dan Shibata-san, anak doktoral tingkat 2 di bawah Okuda Sensei, yang jarang sekali masuk ke lab karena dia mengambil doktoral program pekerja yang tidak wajib masuk. Bapak dari dua anak. Saking misteriusnya, bahkan Kirari saja tidak pernah tau sosok Shibata-san hingga saat ini, sehingga, satu-satunya jawaban yang masuk akal adalah: “Kurokawa” Semua orang menunggu Yuri menjawab “Kurokawa Sensei" agar bisa cepat menuju pertanyaan selanjutnya.
“Kurokawa Sensei.” Yuri melanjutkan. “Maksudku, memang itu plihan paling logis, kan?”
Respon dari Yuri sebenernya adalah respon umum semua wanita di lab, namun sebagai teman dari Rahul dan Yu Joon, Kirari tetap sedikit kesal mendengar jawaban tersebut. Rahul mencoba tertawa untuk menunjukkan dirinya tidak peduli, sementara Yu Joon tertawa ringan karena efek mabuk. Kurokawa Sensei yang disebut namanya hanya tersenyum tipis. Mungkin dia sudah terbiasa mendengar seseorang mengutarakan ketertarikan pada dirinya.
“Tapi, tentu saja Kurokawa Sensei paling cocok dengan Rie,” Yuri menambahkan sebuah kalimat pelengkap yang canggung.
“Ya sudah kau nikahkan saja mereka.” Kirari berdesis dengan Bahasa Indonesia dengan kondisi mulutnya penuh dengan coklat batang.