Nagoya,
13 Januari 2019
12.40 JST
Perjalanan menuju Stasiun Osu memakan waktu 40 menit dengan dua kali perpindahan kereta di Stasiun Kanayama dan Kamimaezu. Osu adalah sebuah daerah pusat pertokoan dan kuliner Nagoya yang juga terkenal akan megahnya kuil Osu Kannon. Warna merah mendominasi area ini.
Asosiasi terdekat daerah Osu adalah Asakusa di Tokyo, tetapi dengan level “menarik untuk dikunjungi turis asing” lebih di bawah. Terdengar menyebalkan tetapi begitulah, Nagoya adalah kota yang tanggung. Tidak begitu kota seperti Tokyo yang menghadirkan banyak bangunan futuristik dan menjadi tempat berlangsungnya banyak acara skala nasional dan internasional yang menarik. Tidak juga seperti Kyoto yang benar menjaga sisi tradisionalnya mulai dari bangunan hingga makanannya. Dengan posisi Nagoya adalah kota yang terhimpit antara Tokyo dan Kyoto pada jalur Tokaido Shinkansen, hampir sangat mungkin kota yang terkenal akan belut dan adzuki (pasta kacang merah) ini terabaikan untuk dikunjungi oleh para turis.
Tujuan Kirari datang ke Osu adalah untuk memutar nostalgia tentang restoran India favorit keluarganya dahulu. Bangunan tersebut sama kecilnya seperti memorinya 17 tahun lalu, tetapi warna kayu pintu utamanya telah menjadi cerah berwarna kuning.
Begitu masuk ke dalam, segera bau kare menusuk ke hidung dan bunyi wajan bergesekan dengan spatula besi ramai terdengar dari sisi dapur sebelah kiri.
“Hitori (sendirian)?” tanya seorang pelayan yang kelihatan masih muda. Kirari sebenarnya ingin disapa dengan menggunakan bahasa yang sopan seperti “O hitori-sama desuka?” Namun, sesama orang asing, Kirari mengerti bahwa menguasai bahasa Jepang yang sopan sangatlah susah.
Kirari duduk di lantai dua dan memesan nan keju dengan madu, menu andalan dari restoran tersebut. Nan keju di restoran ini tidak sembarang, rotinya tebal dan kejunya melimpah, kenyang. Tak lama setelah itu, datang dua orang dengan dandanan lengkap, berlipstik sama cerahnya dengan warna jilbabnya. Mereka menuju meja Kirari dan di belakangnya mengikuti seorang pelayan.
“Boleh mereka duduk di sini?” Tanya pelayan kepada Kirari karena restoran penuh dan Kirari duduk di meja untuk 3 orang.
“Boleh, douzo (silakan).” Kirari merasa pelayan itu pasti senang karena yang duduk di kursi ini adalah seorang asing yang terbiasa berbagi meja di restoran, bukan orang Jepang yang sensitif terhadap ruang privasi.
Dua orang perempuan tersebut duduk di depan Kirari, muka mereka memancarkan kehangatan yang khas. Kirari ingin membuat percakapan lebih dahulu, namun kepalanya saat itu sangat sakit, dia butuh makan untuk segera meminum obat sakit kepala.
“Mbak orang Indonesia?” Tanya perempuan dengan jilbab oranye. Selanjutnya dia memperkenalkan bahwa namanya adalah Ria.
“Iya. Mbak Ria tinggal di Nagoya?”Kirari bertanya balik sekenanya berharap tidak dianggap sombong.
“Bukan. Di Seto, Mbak.” Daerah Seto ini pernah Kirari dengar sebagai daerah penghasil tembikar, tetapi dia tidak tahu jika ada universitas juga di sana.
“Oh, ada kampus di dekat Seto?”
“Bukan Mbak, saya bekerja di pabrik.”
“Oh..Wah...”
Hidup di Tokyo dan melakukan kegiatan bersama hanya dengan mahasiswa membuat Kirari tertutup atas pengetahuan kehidupan yang lebih luas. Perempuan di depannya adalah pekerja di sebuah perusahaan pembuatan kompor listrik. Mereka tinggal bersama-sama di asrama perusahaan dan setiap hari bekerja penuh dari jam 8 sampai sampai sore.
Setiap masa 3 bulan mereka dihadapkan pada ujian ketrampilan, yang jika mereka tidak mempunyai kompetensi standar maka akan segera dipulangkan ke Indonesia.
Sabtu dan Minggu adalah waktu mereka untuk menikmati kebebasan, sehingga banyak dari mereka pergi ke pusat kota Nagoya seperti Sakae, Shibunya-nya dari Nagoya, untuk mengganti suasana.