Tokyo Tech,
9 Februari 2019
Ruangan kotak itu lebih mirip ruangan museum dibandingkan ruang kerja. Kanan kirinya dipenuhi lemari berjejer warna putih dengan tiga baris terbawah diisi oleh buku-buku yang banyak tertutup debu. Mungkin buku itu tidak pernah dibaca lagi karena isinya sudah dihafal semua. Di setiap baris lemari terdapat berbagai hiasan yang menunjukkan bahwa sang pemilik telah berhasil menaklukkan Jepang dari ujung ke ujung. Hiasan kayu dari suku Ainu di Hokkaido, Patung Akabeko dari Fukushima, Boneka Kokeshi dari Tohoku, cawan tembikar dari daerah Arita dan Mashiko, hingga hiasan Bingata dari Okinawa.
Namun yang paling menarik perhatian Kirari adalah sebuah kimono luar biasa mewah yang terpasang di dinding dekat meja kerja. Amat cantik, dan sepertinya mempunyai teknik pengerjaan yang mirip dengan shibori di Arimatsu.
“Melihat sesuatu yang menarik, Kirari-san?” Okuda Sensei melihat muka Kirari yang begitu fokus memperhatikan Kimono “tsujigahana”.
“Diberi oleh salah seorang teman. Sangat precious. Ini dibuat sejak zaman Nara1”
“Duduklah, jangan terus berdiri disitu,” ucapnya.
Kirari akhirnya duduk, meski matanya masih susah lepas dari kimono yang kecantikan warna dan kerumitan tekniknya begitu menggoda untuk dipelajari lebih jauh.
“Kau tahu kan, kenapa aku memanggilmu kesini?” Tentu Kirari sudah tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Okuda Sensei, Kirari sudah siap menerima caci makian kasar yang paling mungkin diucapkan. Inilah hal yang paling dia tidak nikmati dari kemampuan berbahasa Jepangnya yang begitu baik. Makin paham Bahasa Jepang, maka makin paham dia segala bahasa eksplisit dan implisit berisi cacian.
“Hontouni moushiwake arimasen deshita, saya betul-betul minta maaf.” Dalam posisi duduk Kirari menunduk dalam, bersiap memakai jurus mengedapkan telinga. “Ya, aku memang sangat kesal dua minggu lalu. Tapi seharusnya Ryoma-kun yang lebih kesal karena telah menunggu 1.5 jam.” Kirari makin menundukkan kepalanya. Amat merasa bersalah. “Padahal hari esoknya dia ada presentasi penting dengan staff Stanford University dan petinggi UNESCO. Untung saja semuanya berakhir sangat baik.”
Kirari membangkitkan kepalanya, merasa lega bahwa Okuda Sensei tidak berteriak kepadanya dan senang bahwa Kurokawa juga berhasil. “Kenapa kau bisa telat hari itu? Jangan sampai terulang lagi. Aku hampir memberikanmu nilai akhir B- jika kau telat hari itu.” Ketegasan dalam ucapan datar Okuda Sensei makin terasa jika kau hanya duduk berdua dengannya. Ancaman yang diucapkan secara datar itu lebih menegangkan daripada yang diteriakkan di depan muka.
Aku belum yakin bahwa Rie memang sengaja memberitahuku informasi yang salah.
Masih harus ada yang harus aku konfirmasi lagi.
Tapi, hampir pasti memang Rie yang menjadi penyebabnya!
Baru “hampir". Masih belum sempurna prediksiku ini ...
Kirari sibuk berdiskusi di pikirannya sendiri.
“Moushiwake arimasen deshita. Maafkan saya Sensei, tidak akan terulangi lagi. Sampai sekarang saya masih meyakini itu kesalahan saya.” Kirari merasa ini adalah kalimat terbaik yang bisa dia keluarkan, entah terdengar bodoh atau naif.
“Baiklah, jangan sampai kau ulang kembali.” Okuda Sensei berjalan pelan menuju rak mejanya dan mengeluarkan satu coklat batang dengan sampul warna emas dan pink muda.
“Oh, tentu saja tujuanku untuk mengundangmu kesini sebenarnya untuk memberikan ini”. Okuda Sensei menyerahkan cokelat batang sambil tersenyum seperti senyuman seorang paman yang bangga akan keponakannya. “Terimakasih telah memberikan analisa menarik di setiap tugas yang aku berikan kepadamu. Apalagi penjelasan mu tentang foto pengrajin shibori itu membuat aku berfikir bagaimana sistem yang tepat untuk menaikkan jumlah pemuda yang ingin menjadi pengrajin." Kirari menatap lekat-lekat Okuda Sensei, matanya berbinar, luar biasa senang. Seperti senangnya seseorang yang mendapati angka di tagihan listrik musim dinginnya di bawah 2000 yen2 meskipun telah menyalakan pemanasruangan seharian.
Kirari berjalan keluar ruangan Okuda Sensei dan rasanya musim semi seperti mulai terlebih dahulu di hatinya. Hangat dan tenteram. Mungkin hari itu adalah hari terbaik bagi dirinya. Jika saja hari itu ada pengumuman dari Yonsei dan dia diterima, maka hari ini yang akan menjadi hari terbaik di tahun 2019 ini.
Kirari memandangi cokelat yang diberikan oleh Okuda Sensei karena bungkusnya tidak biasa dan terkesan manis sekali.
“Premium-Almond Chocolate.Valentine Edition- for sale in Tokyo”
Bibir sebelah kirinya terangkat, menyeringai. Tokyo memang sudah memulai pensuasaan merah jambu dan cokelat bahkan sejak Januari. Setiap sudut kota ini menjadi semakin manis dengan bertebarannya cokelat edisi khusus. Di negara yang semangat sekali mengambil budaya barat seperti Jepang ini, bahkan Valentine pun artinya meluas. Karena di sini cokelat tidak Hanna dibudayakan untuk diberikan kepada lawan jenis yang disuka, tetapi ke sesama rekan kerja atau…sekedar apresiasi. Terbayang oleh Kirari, Tim Rohis SMA-nya pasti pusing sekali melihat ini.
9 Februari menandakan salju turun yang turun dengan lebat di Tokyo. Dari dalam kedai kopi di dekat kampus, Kirari memberi fokus keluar, memandangi para mahasiswa yang sibuk memegang payung transparan— payung sejuta umat— untuk menahan salju lebat membasahi badan mereka. Tidak lupa menggunakan masker putih dengan berbagai teknologi tersembunyi untuk menjaga bagian bawah mukanya tetap hangat.