Peron Stasiun Tsukuba- Tsukuba Express
18 April 2019
15.00 JST
Gala berdiri di peron Tsukuba Express menunggu kereta commuter rapid yang akan membawanya ke Kita-Senju, untuk selanjutnya menuju ke Stasiun Aobadai yang paling dekat dengan asramanya. Hari itu dia berencana untuk pulang lebih cepat karena ada janji untuk makan malam di sebuah restoran Soba di Aobadai bersama Reza, Kirari dan Kanna.
Dirinya menatap ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sosok Rie yang mungkin saja juga kebetulan sedang menunggu kereta di jam yang sama. Jika Rie muncul juga hari ini, berarti dia memang teman mengobrol yang diturunkan Allah padanya. bertemu orang yang sama di tempat yang sama sebanyak 3 kali, itu takdir kan?
Namun sampai kereta itu menutup pintunya, tetap Gala tidak melihat sosok perempuan cantik tersebut. Sayang sekali, padahal dirinya sudah mengumpulkan setumpuk bahan obrolan. Duduklah Gala di tempat paling nyaman di kereta, di kursi ujung dekat pintu berpartisi setinggi bahu yang nyaman untuk senderan kepala. Tsukuba Express hari itu sepi karena Gala pulang di jam sebelum ramai orang pulang kantor, kursi kosong bertebaran di lorong tersebut.
Kenkyuugakuen. Kereta berhenti di stasiun nomor 19, masih ada 7 pemberhentian lagi hingga Kita-senju.
Gala hampir tidak mempercayai matanya ketika melihat sosok perempuan tinggi berhak sepatu tinggi menenteng dua tas belanja dengan logo merek terkenal, masuk ke dalam kereta dari pintu di depannya. “Datang!” Gala tidak bisa menahan ekspresi mukanya yang berbinar.
Rie pun sama terkejutnya ketika melihat sosok Gala di depannya, tidak ragu dia mengambil jarak satu kursi di samping lelaki tersebut. Hari itu dia sedang butuh teman mengobrol. Tidak. Lebih tepatnya, melihat Gala memunculkan topik obrolan baru.
“Hi! Kau habis belanja? Disini ada mall besar?” Gala penasaran sambil melirik tas belanja yang dibawa Rie.
“Kau kira Tsukuba hanya berisi tempat riset? Tentu saja kami punya mall besar, bahkan pusat belanja AEON terbesar di daerah Kanto ada disini!” jawab Rie sambil tertawa kecil. “Lain kali aku akan mengajakmu berkeliling kota ini. Tidak seburuk itu, kok."
Tidak buruk. Tsukuba memang tidak buruk. Di kota ini pun aku menemukan teman mengobrol yang mengasyikkan, pikir Gala.
“Apa kabarmu?” Pertanyaan Gala membuka resmi sesi mengobrol mereka.
“Tidak terlalu baik.” Rie menoleh ke kiri memberikan senyum yang terkesan dipaksakan.
“Paman saya wafat minggu lalu. Meskipun saya sadar sejak bertahun lalu bahwa hari ini akan datang, tetap rasanya berat sekali. Akhirnya mimpi buruk terburuk yang pernah saya bayangkan terjadi juga.” Air mata Rie pelan turun ke pipinya dan segera perempuan itu mengambil tisu yang ada di kantong untuk menyeka air matanya.
“Oh, maafkan aku tidak tahu tentang hal ini.” Gala tidak tahu apalagi yang harus dikatakannya. Rie menggelengkan kepala dan berkata, “ Tidak usah minta maaf. Paman saya sudah berjuang keras untuk sembuh. Saya senang banyak yang melepas kepergiannya.” kata “senang” pada ucapannya berkebalikan dengan air mata yang makin deras keluar.
Gala melirik ke kursi seberang kirinya yang berisi Ibu-ibu sekitar umur 50 tahunan yang kompak mengarahkan matanya ke arahnya dan Rie. “Oh tidak, jangan berfikir yang macam-macam tentang kami,” gumam Gala pelan.
“Lalu, kau hari ini akan ke kampus?” Gala mencoba mengubah arah obrolan.
“Umm… tentu saja, ada hal yang harus aku kerjakan. Seminggu ini aku tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca tumpukan jurnal yang sudah aku cetak. Kalau aku membaca itu di rumah, pikiranku buyar, karena aku pun harus fokus menopang mental Bibi yang sama merasa kehilangan.” Gala lega karena Rie sudah mulai bisa mengontrol air matanya, meskipun tisu masih beberapa kali menyentuh bagian bawah mata.
“Tetapi jika aku di kampus, aku jadi mengingat hal yang sama buruknya.” Air mata yang sempat berhenti turun kembali, kali ini gerak turunnya sangat cepat. Rie mengambil dua lembar tisu tambahan, sementara Gala kali ini sibuk melirik ke arah kumpulan Ibu-ibu di kanan yang sedang mengobrol berbisik tetapi matanya tajam menatapnya. Ya Allah… kenapa Ibu-ibu ini juga?
“Aku tidak menyangka bahwa di saat aku ingin mendapatkan kehangatan dan penguatan dari orang itu, justru dia mengeluarkan kata-kata yang begitu kejam. Tega sekali … “ Rie menggenggam kuat tisu yang dipegang di kanan tangannya. Masih perih terasa jika mengingat ucapan Kurokawa minggu lalu.
Sekitar jam 6 sore waktu itu, Rie dengan setengah berlari pergi ke ruangan Kurokawa untuk memberikan kabar kematian pamannya. Dia memeluk lelaki itu dan menangis sesunggukan hebat. Rie berharap lelaki yang amat disukainya tersebut akan memeluknya balik, namun dia hanya berdiri mematung. Ketika Kurokawa mengajak Rie untuk masuk ke ruangan, disitulah mimpi buruk kedua dimulai.
Kurokawa melepas pelukan Rie dan memegang pundaknya, dia menunduk hingga mata mereka sejajar dan berkata, “Rie. Aku turut berduka cita atas kabar tersebut. Hashimoto Sensei telah memberitahuku. Rie, aku tahu aku kejam, tetapi mulai hari ini, aku tidak bisa menjadi tumpuan kesedihanmu lagi. Kau akan menemukan lelaki yang sungguh lebih baik dariku.”
KEJAM.
Kenapa di saat seperti ini dia tega berkata seperti itu? Tidak bisakah dia menunggu dua minggu lagi untuk berkata seperti itu?
“Maaf, aku tidak bisa bantu apa-apa.” Gala berharap saat itu Allah memberikannya alat ajaib untuk membantu memahami isi perasaan wanita secara lebih. Rie lalu menggelengkan kepalanya. “Mendengarkan saja sudah mengangkat setengah bebanku,“ katanya.
Moriya. Kereta berhenti di stasiun nomor 15, masih ada 6 pemberhentian lagi hingga Kita-senju.