Beberapa hari setelah misi di reruntuhan Altareth, kehidupan di markas Starblaze berjalan seperti biasa. Namun, hati Mei terasa gelisah. Sejak pertarungan melawan roh jahat, ia sering bermimpi—mimpi tentang seorang wanita berjubah putih yang menangis di tengah api, serta suara lirih yang memanggil namanya… “Mei… kau harus ingat…”
Suatu malam, saat bulan purnama menggantung tinggi, Mei berdiri di balkon guild, menatap langit dengan mata kosong.
“Tak bisa tidur?” Leon muncul, membawa dua cangkir teh hangat.
Mei mengangguk pelan. “Mimpi itu… terasa nyata. Seperti kenangan yang terkunci.”
Leon menatapnya dalam diam. “Kau pernah bilang… saat pertama kali tiba di dunia ini, kau tak ingat apa pun sebelum bertemu Dewi Rafaela, bukan?”
Mei mengangguk. “Ya… tapi sekarang, fragmen-fragmen itu mulai muncul. Dan aku takut.”
Keesokan harinya, seorang pengunjung misterius datang ke markas. Ia bertudung hitam dan mengenakan liontin berbentuk mata. Saat melihat Mei, ia membeku.