Kisah Antarkita

Susi Idris
Chapter #3

BAB 2

“Sekarang Kakak puas, ‘kan?”

“Maksudmu?”

“Acara ulang tahunku batal gara-gara Kakak. Apa waktu acara Kakak yang ‘Lemari di Taman’, aku mengacau?”

Gadis yang disapa ‘Kakak’ hanya bisa terdiam. Matanya berkaca-kaca.

“Kakak merepotkan semua orang. Semuanya! Dasar egois!”

●●●

Awi diam bersama cemas yang menikam seluruh tubuhnya. Dia lemas dan seolah ingin muntah. Pada akhirnya, dia bangkit menyalakan lampu kamar mandi. “Cuma mimpi, Awi!” ucapnya di depan cermin wastafel. “Jangan pikirkan dia lagi, oke?” Namun, Awi tahu, itu bukan mimpi. Percakapan tadi pernah terjadi antara dia dan Fila, beberapa jam sebelum kakaknya itu dinyatakan meninggal, tiga tahun lalu.

Awi benci setiap kali bayangan itu mengusik tidurnya. Terlalu suram, meski hanya melintas. Perlahan, dia kembali ke tempat tidur, menarik selimut hingga pundak. Dia yakin, bayangan itu muncul lagi karena kejadian di meja makan tadi.

“Kenapa pakai lilin segala?” Awi berdiri di depan meja makan dengan raut meneliti.

“Sembilan belas tahun lalu, Fila lahir menjelang makan malam seperti ini. Tujuh menit lagi.”

Perasaan Awi mulai tidak enak. Dia batal menarik salah satu kursi. “Maksud Mama?”

“Bibi masak spesial. Hari ini Fila ulang tahun. Kamu lupa?”

Awi tidak ingat dan tidak pernah lagi mau mengingat hari lahir kakaknya. Dia langsung berbalik dengan kesal.

“Awi, mau ke mana, Nak? Makan dulu. Ini banyak makanan pedas. Kesukaanmu, ‘kan?”

“Aku tidak lapar! Mama saja yang makan.”

Perempuan yang disapa ‘Mama’ mendesah kecewa. Dugaannya tidak meleset. “Awi, ini bukan acara ulang tahun. Ini biar kamu ingat kalau kakakmu itu pernah ada. Bagaimana pun, dia pernah jadi temanmu bermain, tertawa, dan dia selalu baik sama kamu.”

Baik? Oh, jangan ingatkan itu, Ma, karena aku … karena aku adik yang payah!

“Kenapa kamu seperti ini sama kakakmu, Awi?”

Tidak ada jawaban, padahal sesungguhnya Awi masih mendengar pertanyaan bernada sedih itu. Pertanyaan yang sering membuatnya ketakutan di awal-awal kematian kakaknya. Perlahan, ketakutan itu menjelma janji pada diri sendiri untuk tidak lagi membicarakan Filadria Kusuma Handi. Dia tidak mau tahu, tidak mau mendengar, dan tidak mau melihat, apa pun yang berkaitan dengan mendiang kakaknya. Itu semua hanya akan membangkitkan ingatannya tentang kematian yang kelam, tentang “pembunuh” yang putus asa.

Bukan aku. Gadis itu memejamkan mata, memeluk erat gulingnya, lalu kembali mengucapkan kalimat penolakan itu, berulang-ulang dalam hati. Bukan aku. Bukan. Bukan aku.

Seketika matanya berair dan dia buru-buru menggigit bibir. Tidak, tidak ada yang tahu. Tidak ada yang menuduhku. Aku remaja yang jago main basket, punya dua sahabat baik, hidup terjamin, aku baik-baik saja. Awi tersenyum, hampir bersamaan dengan sebutir air mata yang menetes di pipinya.

Aku baik-baik saja dan aku bukan pembunuh. Bukan, bukan aku. Dia mengepalkan kedua tangan, lalu menggeram dengan suara tertahan.

Sangat mudah membohongi orang lain, tetapi tidak diri sendiri.

●●●

Lihat selengkapnya