Iras sedikit terkejut mendengar ayahnya memanggil di balik pintu. Ayahnya hanya bicara hal-hal penting padanya. Apa yang penting sore ini? batinnya seraya bergegas membuka pintu. Ayahnya masuk sambil menenteng tas kertas bercorak batik. Wajahnya, seperti biasa, tampak datar.
Ayah Iras—Renaldi Rahman—sesungguhnya tampan, tetapi wajahnya tampak kaku karena bibir yang jarang merekah. Saat SMA, lelaki bertubuh atletis dengan tinggi 182 cm itu, menjabat ketua tim basket selama dua tahun, mengantarkan klubnya sebagai pemenang di banyak kejuaraan basket antarsekolah. Iras baru mengetahui hal itu minggu lalu dari Erik, teman ayahnya.
“Biarpun ayahmu jago main basket, tapi otaknya kosong.” Erik tertawa, benar-benar tidak berusaha terlihat sopan. “Serius. Dia juga sering bolos, minum-minum, pokoknya tidak beres!”
Iras menunduk, cukup canggung dengan informasi yang diterimanya.
“Beda sama ibumu. Mereka seperti mutiara dan lumpur.”
“Jadi, Om Erik kenal Ibu juga?” Iras memandang lekat-lekat lawan bicaranya. “Apa Ibu satu SMA dengan Ayah dan Om Erik?”
Lelaki 35 tahun itu tersenyum lebar. “Bukan hanya satu sekolah, tapi satu kelas.”
“Om serius? Jadi … Om bisa cerita tentang I—” Iras ingin lelaki gendut bersuara nyaring itu bercerita tentang keseharian mendiang ibunya atau apa saja yang berhubungan dengan perempuan itu, tetapi bunyi klakson menginterupsi. Sebelum ayahnya turun dari mobil, Iras sudah berlalu dari ruang tamu.
Hingga hari ini—tujuh hari setelah percakapan itu—Iras belum bertemu lagi dengan Erik, satu-satunya orang yang dia anggap bisa menipiskan rasa penasarannya tentang ibu.
"Kamu lagi belajar?" Renaldi bertanya saat melihat buku-buku Iras terbuka di atas meja.
"Iya, kerja PR," jawab Iras. "Ada apa, Yah?"
Renaldi langsung menunduk dan melihat tas kertas di tangannya. "Ini, Ayah belikan baju dan celana untuk kamu."
Iras terdiam beberapa detik sebelum meraih tas kertas itu. Ayahnya hampir tidak pernah melakukan ini, membuatnya agak kebingungan. Dia ingin bilang, "Tumben Ayah belikan aku pakaian." Namun, kata-kata itu terasa kurang pantas untuk disuarakan.
"Coba dulu," sahut Renaldi "Semoga pas."
Iras mengeluarkan kemeja biru kotak-kotak dan celana jeans dari plastik yang membungkus keduanya. Biru adalah warna kesukaan Iras dan dia berpikir mungkin ayahnya sengaja mencari pakaian yang sesuai dengan warna kesukaannya. Dia tiba-tiba senang hanya dengan memikirkan itu.
"Pas!" ucapnya semakin senang karena sosoknya di hadapan cermin terlihat sangat keren dibandingkan ketika dia memakai pakaiannya yang lain.
Iras memang merasa sangat payah dalam berbelanja. Barang-barangnya dipakai hingga benar-benar rusak, barulah diganti. Sebaliknya, ayahnya begitu mahir dalam memilih barang-barang yang akan dikenakan. Setidaknya, dia selalu melihat ayahnya tampil keren.
“Ayah lupa belikan kamu sepatu. Coba Ayah lihat sepatumu.”
Iras langsung menunduk ke kolong tempat tidur dan meraih sepatu sekolahnya, satu-satunya sepatu yang dia miliki.
Renaldi memperhatikan sepatu putranya yang dekil. “Kalau sudah begini, harusnya diganti.” Dia agak jengkel karena uang bulanan yang diberikannya pada Iras, lebih sering dibelikan buku atau ditabung oleh anaknya itu. “Sebentar kita singgah ke toko sepatu.”
Singgah? Iras agak bingung. “Memangnya, kita mau ke mana?”
“Kita mau makan malam …. Mm, Ayah mau mengenalkan teman Ayah sama kamu.”
Makan malam? Teman? Iras teringat pembicaraan ayahnya dengan Erik akhir-akhir ini, yang selalu didengarnya diam-diam, tentang perempuan bernama Nina. “Teman Ayah … Tante Nina?” Sekejap, Iras kaget dengan spontanitasnya. Renaldi tidak kalah kaget, tetapi memilih menggumam daripada menanyakan, Dari mana kamu tahu nama itu?