Blurb
Tidak ada babi yang memakan kotoran babi!
Tetapi sekelompok kecil anak babi tertangkap tangan memakan kotorannya sendiri. babi pengasuh mereka yang bernama Macan, diganjar hukuman pembuangan ke sebuah pulau terpencil di ujung Nusantara.
Si Macan yang putus asa, justru menemukan "pohon bodhi"-nya di pulau itu. Hidupnya menjadi luar biasa karena ada sebuah rasa yang belum pernah dikecapnya sebagai anggota sebuah keluarga: teman-teman barunya. Juga seekor babi cantik dengan masa lalu yang misterius.
********************
Novel ini hanyalah fiksi. Saya yang mengarangnya. Apabila Anda menemukan adanya kesamaan nama atau kemiripan kisah, saya menegaskan bahwa hal itu sepenuhnya adalah sebuah kebetulan.
Tentu saja, saya meminta maaf apabila di beberapa bagian novel ini terasa terlalu "manusiawi" untuk disematkan dengan atau dipikirkan oleh para binatang kesayangan saya. Maaf, maaf. Hal itu terjadi mungkin karena pengarangnya sudah terlalu berpengalaman sebagai manusia. Lebih dari 40 tahun! (Dan baru sekarang menerbitkan sebuah novel? Keterlaluan!).
Sebaliknya, jika ada pembaca yang merasa bahwa novel ini tidak layak sebagai sebuah fabel, karena terlalu "binatangwi", atas nama Macan dkk., saya juga menyampaikan permintaan maaf dari mereka. Berpura-pura menjadi manusia sepertinya sama sulitnya dengan berpura-pura menjadi binatang, seperti yang saya lakukan.
Selama ribuan tahun, relasi manusia dan binatang berlangsung secara tidak adil. Dalam mitos manusia, Habil Putra Adam mempersembahkan seekor domba, dan Tuhan lebih menyukainya dibandingkan sepikul gandum yang dipersembahkan Qabil. Kelak, domba ini baru akan dikembalikan ke bumi untuk menggantikan posisi salah satu anak Ibrahim (bisa Ishaq, bisa Ismail, tergantung keturunan siapa yang menceritakan), yang hendak disembelih oleh ayahnya.
Domba, dan para binatang secara umum, hidupnya hanya sebagai pelengkap ‘kisah" manusia. Kisah Habil-Qabil bahkan mengisyaratkan bahwa binatang telah didomestifikasi demi kebutuhan manusia atas makanan sejak zaman Nabi Adam. Kemampuan "bercakap-cakap" mereka dengan manusia hanya diakui saat seekor ular mampu memprovokasi Hawa untuk memakan buah terlarang di surga. Setelah pasutri itu dihukum tinggal di bumi, ular dan para binatang tak lagi mampu berbincang dengan manusia.
Apakah para binatang merasakan rindu berbincang dengan manusia? Saya tidak tahu. Tetapi manusia, jelas merasakan rindu itu. Buktinya mereka menulis fabel, mengarang dongeng, membuat film tentang para binatang yang dapat berbincang layaknya manusia. Novel ini salah satunya. Orang-orang yang tertarik membacanya sepertinya disebabkan rasa rindu itu (Atau mungkin sekadar memuaskan rasa penasaran?).
Lalu apakah saya, penulisnya, mampu menjadi penyambung lidah para binatang yang menjadi tokoh novel ini? Saya tidak berani menjanjikan. Bahkan terus terang saja, saya sampaikan di sini bahwa dalam dunia nyata, saya tidak memahami bahasa para binatang; Saya hanya berpura-pura paham. Karena itu, saya pun tidak dapat berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan dengan Macan, yang adalah merupakan diri saya dalam versi seekor babi.
Sebaliknya, saya pun yakin bahwa Macan tidak akan berhasil berpura-pura menjadi saya, sekeras apa pun babi muda itu berusaha.
Para pembaca yang teliti, mungkin tetap akan bisa mendeteksi bahwa ada beberapa bagian novel ini yang ditulis oleh Macan. Beberapa bagian yang terasa tidak pas, atau membuat ego Anda tergelitik sebagai manusia, itu adalah pekerjaan dia. Sekali lagi, mohon dimaafkan. Namanya juga babi, tetap saja ia seekor babi. Jika Anda ternyata memiliki pandangan yang berbeda, saya yakinkan Anda, bahwa pandangan Andalah yang lebih benar. Jangan ragu, jangan bimbang, saya akan selalu ada di pihak Anda!
Hanya itu saja. Terima kasih. Nguik!