Kedua gadis itu beranjak dari Brooklyn dan menyeberang jalan utama kampus, melewati depan panggung mungil tempat di mana alin menyumbang suaranya yang rendah dan agak serak, melalui sepanjang jajaran stand-stand makanan minuman unit mahasiswa jurusan, hingga mencapai stand sastra Inggrisyang dipenuhi kertas dekorasi warna biru muda dan ungu.
Dewi berdiri di depan meja penuh tumpukan booklet dan kertas. Di depannya, seorang pemuda dengan rambut agak mengikal di tengkuk sedang menunduk. Koreksi, bukan menunduk, tapi menempel kan kepala nya di atas meja.
"Kak? saya mau ambil sertifikat," sapa dewi pelan. Si pemuda mengangkat kepalanya begitu mendengar suara dewi. Matanya yang seperti mata rubah menatap dewi dengan lekat dari balik kacamata bulat, seakan dewi adalah alien yang perlu dikarantina terlebih dahulu. Kemudian, seperti terkejut, seperti baru bangun dari melamun, pemuda itu mengangguk-angguk.
"oh, iya. Atas nama siapa, teh?" tanyanya dengan suara berat. Wah, beneran habis bangun tidur apa, ya? batin dewi diam diam. Farii berdiri disamping nya, sibuk memperhatikan sekelompok mahasiswa yang sedang bermain skateboard.
"Bungah dewisari" jawab dewi. Pemuda itu mengangguk lagi.
"Sebentar, ya, teh" katanya, lalu menunduk mencari-cari di bawah meja. Dewi melongok ke dalam. Stand sastra Inggris sepi, hanya ada si pemuda penjaga stand dan dua orang mahasiswi yang duduk di atas tikar sambil menatap laptop. Oh, rupanya sedang menonton drama Korea.
Tak lama kemudian, kepala pemuda penjaga stand tersebut muncul kembali. Di tangannya, terdapat selembar kertas sertifikat. Si pemuda mengangsurkan sertifikat itu kepada Dewi.
Dewi menyambutnya denga mata berbinar binar. Meskipun sekarang ia terjebak dan baik baik saja selama lima semester di jurusan biologi. Dewi punya rencana cadangan untuk masa depannya. Mungkin, dengan modal berbagai seminar kepenulisan yang diikuti nya, nantinya ia punya kesempatan terjun ke bidang apa pun itu yang berhubungan dengan perbukuan.
Namun, mata dewi memicing ketika meneliti sertifikat tersebut. Namanya, ada yang salah ketik di namanya.
"Eh, permisi, kak, nama saya salah" ujar dewi hati hati. Pemuda itu, yang sedang mencari cari sesuatu dibuku besar, kini mengembalikan perhatian nya pada dewi.
"Salah apanya?" tanya datar.
Dewi menunjuk baris namanya. Disana, tertera "Bunga dewisari". Si penjaga stand memandang nya bingung.
" Bungah. Pakai, H," Koreksi dewi.
"Bukan Bunga?" tanyanya lagi, mengonfirmasi. Dewi menghela nafas. Ini memang bukan pertama kalinya terjadi. Orang orang selalu salah mengira namanya adalah "Bunga". Padahal nama pertamanya " Bungah". Untung saja nama panggilan nya dewi, meskipun pasaran tapi tidak akan di salah sangka.
Si pemuda menggaruk garuk rambutnya yang menyentuh tengkuk, lalu menoleh kebelakang, kepada kedua mahasiswi yang duduk di tikar.
"Teh, ini ada yang typo namanya"
Seorang gadis dengan kerudung warna biru dongker menoleh, kedua aslinya bertaut di tengah. Gadis itu berdiri dan menghampiri si pemuda, lalu menunduk di atas meja.
"Yah, gak bawa printer," keluhnya, kemudian ia beralih kepada dewi. "Maaf, ya, teh, kalau kami benerin dulu, nanti di kabarin lewat line, gimana?" tawarnya, dewi melipat bibir. Tidak masalah, sih. Tapi malas juga kalau harus bolak balik mengambil nya.