Suasana kampung Mawar tempat Bu Pratiwi tinggal heboh sekali sore itu. Karena Pak Samsul pingsan dan menceritakan bahwa dia melihat kuntilanak dengan wajah Lila di pohon depan rumahnya. Kejadian itu serentak dengan kejadian munculnya pocong berwajah Lila di kamar mandi rumah Bu Rani.
Warga kampung Mawar berkumpul di rumah Pak Samsul dan juga Bu Rani. Mereka menggerombol dan bergumam pelan, ada juga yang menanyai Nike, anak Pak Samsul.
"Tadi saya sudah lihat bapak di pinggir jalan, tapi bapak seperti nggak melihat saya. Bapak berhenti jauh di depan saya, dan kemudian pergi begitu saja. Saya marah, dong melihatnya! Saya mencoba menelpon bapak, tetapi tidak diangkat-angkat, dan waktu diangkat malah bapak lalu berteriak dan pingsan. Kan, saya jadi takut," jawab Nike dengan wajah agak cemberut.
Orang-orang berbisik-bisik lagi.
"Tadi, Ira, anaknya Pak Budi dan Bu Rani juga melihat pocong di kamar mandi rumahnya. Pocongnya berwajah Lila," kata seseorang.
Mereka semua terkejut dan dengungan serta gumaman terdengar lagi.
"Eh, semua masalah ini kan berawal dari Bu Pratiwi yang melihat hantu muka rata waktu mau berangkat ke masjid. Lalu semua jadi kacau."
"Iya! Lalu ada banyak yang melihat pocong!"
"Eh, sudah dengar belum kejadian mengerikan di rumah Bu Pratiwi?"
"Apa itu, Pak?"
"Kata Mbok Ginem, dia melihat Bu Pratiwi masuk ke dalam kamar mandi, padahal menurut Bu Ros, Bu Pratiwi tidur terus sejak melihat pocong itu dan Bu Ros juga mendengar seperti ada orang yang nembang Jawa di ruang tamu Bu Pratiwi, dikiranya itu Mbok Ginem yang sedang mengepel lantai, padahal Mbok Ginem sedang masak dan mencuci baju di belakang."
"Hih!"
"Berarti semua masalah berasal dari Bu Pratiwi!"
"Iya! Sekarang juga banyak yang dilihatin hantu Lila! Lila itu hidup atau mati, sih?"
Mereka terus bergumam dan menggosip dengan asyik sampai malam dan akhirnya satu persatu warga pulang ke rumah masing-masing. Pak Samsul lega ketika rumahnya kembali sepi, hanya ada istrinya, dua anaknya dan dirinya. Dia menutup pintu rumahnya dan kemudian menutup tirai jendela ruang tamu.
Tetapi Pak Samsul merasa seperti ada bayangan orang di samping pintu rumahnya di luar. Jantung Pak Samsul berdebar kencang. Dia tahu, tidak seharusnya dia membuka pintu dan melihat siapa yang ada di luar, Pak Samsul tahu seharusnya dia menutup tirai rapat-rapat dan masuk ke kamarnya. Tetapi yang dilakukan Pak Samsul adalah kebalikannya. Dia malah membuka pintu rumahnya lagi demi untuk melihat siapa yang berada di samping pintu rumahnya.
Dan Pak Samsul menyesali keputusannya, ketika dia melihat kelebat bayangan putih di depannya. Sosok putih itu pastilah pocong atau kuntilanak yang sedang meneror Kampung Mawar. Sosok putih itu terus berkelebat menggoda Pak Samsul. Pak Samsul yang tadinya hendak berteriak tiba-tiba merasa paham, sepertinya dia harus mengikuti sosok putih itu.
Pak Samsul keluar dari rumahnya dan mengikuti pocong itu. Dia membuka pintu pagarnya dan setengah berlari mengikuti sosok putih yang berkelebat cepat itu dan Pak Samsul melihat sosok putih itu memasuki halaman rumah Bu Pratiwi dan masuk ke dalam rumah Bu Pratiwi begitu saja, meninggalkan Pak Samsul sendirian.
Pak Samsul berdiri dengan penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa benar semua teror di Kampung Mawar ini karena sesuatu yang ada di rumah Bu Pratiwi?
"Pak Samsul?"
Pak Samsul melonjak kaget ketika ada seseorang yang menepuk bahunya dan memanggilnya dengan keras. Pak Samsul menoleh. Dan ... kosong! Tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Padahal tadi dengan jelas Pak Samsul mendengar suara pria memanggilnya dan Pak Samsul juga merasa bahunya ditepuk dengan keras, bahkan agak sakit juga.
Pak Samsul merinding dan bergidik dan segera berlari ke dalam rumahnya. Dia segera masuk mengunci kamarnya dan tidur di dalam kamarnya. Keputusannya tadi mengikuti sosok putih itu benar-benar salah!
****
Bu Pratiwi terbangun dari tidurnya ketika mendengar ada denting suara gelas di dapur. Bu Pratiwi melihat jam dinding. Jam setengah sebelas malam.
Jantung Bu Pratiwi berdebar. Dia menunggu sambil duduk di tepi ranjangnya. Suara itu terdengar lagi. Suara orang yang sedang mengaduk minuman, seperti sedang membuat minuman.
Bu Pratiwi agak tersengal.
Semua kejadian di rumahnya akhir-akhir ini membuatnya pusing tujuh keliling dan juga takut, tetapi untunglah tetangganya berbaik hati padanya.
"Bu, kalau ada apa-apa, mau siang, mau malam telpon saya saja, ya! Insya Allah saya siap membantu," kata Bu Ros. Pak Beni, suami Bu Ros mengangguk, menyetujui perkataan istrinya itu.
"Iya, Bu Tiwi, kalau ada apa-apa langsung telpon kami saja, kami akan segera datang membantu," kata Pak Beni.
Mbok Ginem juga menawarkan diri membantunya.
"Saya nginep di sini saja, ya? Nemenin Bu Tiwi," kata Mbok Ginem.
Orang-orang mendukung usul Mbok Ginem itu, karena Bu Pratiwi dan Mbok Ginem sama-sama di rumah sendirian.
"Saya juga mau nemenin, Bu! Nanti saya ajak anak saya," kata ibu-ibu yang lain.
"Iya, Bu! Biar rumah Bu Tiwi jadi ramai, jadi nggak ada yang nakutin lagi!"
Ah, Bu Pratiwi jadi terharu, tetapi dengan halus dia menolak semua bantuan tetangganya itu.
"Maaf, Bapak dan ibu, insya Allah saya di rumah sendiri saja. Insya Allah kalau ada apa-apa saya langsung minta bantuan bapak ibu," jawab Bu Pratiwi waktu itu, dan Bu Pratiwi menyesali jawabannya itu. Dan dia berharap orang yang sedang membuat minum di belakang adalah Mbok Ginem.
Pratiwi memegang HPnya erat-erat. Dia bersiap menelpon Bu Ros, ketika mendengar langkah kaki mendekati kamarnya.
Pintu kamar Bu Pratiwi terbuka perlahan.
Napas Bu Pratiwi tersengal lagi, dia berusaha menahan napas, menunggu siapa yang akan masuk ke dalam kamarnya.
Oh!
Bukankah kamar tidurnya tadi dikunci? Dikunci sendiri oleh Bu Pratiwi? Lagi pula pintu depan kan juga dikunci?
Tanpa menunggu lagi, Bu Pratiwi langsung menghubungi Bu Ros, dia begitu gemetar ketika melihat orang yang masuk ke kamarnya.
Oh, Lila! Anaknya!
Bu Pratiwi langsung bangkit dan setengah berlari memeluk Lila. Dia tidak tahu telponnya telah diangkat oleh Bu Ros.