Bu Ros melihat ke arah Bu Pratiwi yang sudah tertidur pulas. Dia mengembuskan napas lega dan berdoa semoga Bu Pratiwi bisa betah di rumahnya.
Bu Ros sebenarnya juga keberatan harus menjaga Bu Pratiwi terus. Mereka bukan keluarga, bukan saudara, mereka hanya bertetangga. Tetapi Bu Ros iba pada Bu Pratiwi yang tidak punya siapa-siapa sekarang. Apalagi ketika Bu Pratiwi sakit seperti ini. Rasanya Bu Ros iba sekali.
Dia mengelus kepala Bu Pratiwi. Wanita weouh itu nampak tidur mendengkur. Air mata Bu Ros pun bercucuran melihat wajah tanpa dosa Bu Pratiw. Bu Ros tak kuasa menahan kesedihan dan kepiluan dalam dadanya.
"Ros! Rosa! Ambilkan handuk!"
Bu Ros menjengit. Dia tersadar dari lamunannya ketika mendengar teriakan suaminya dari kamar mandi. Dia tersenyum dengan kebiasaan suaminya yang sering sekali lupa membawa handuk ketika mandi.
"Iya, sebentar!" teriak Bu Ros, dia segera mengambilkan handuk untuk suaminya. Tak lama kemudian Pak Beni keluar dari kamar mandi.
"Buatin kopi, ya? Aku mau sholat dulu," kata Pak Beni, yang kemudian masuk ke dalam kamarnya.
"Iya," jawab Bu Ros pendek. Bu Ros membuat kopi dan meletakkan gelas berisi kopi itu di meja di ruang tengah, setelah itu Bu Ros masuk kembali ke kamar Bu Pratiwi untuk memeriksa Bu Pratiwi untuk yang terakhir kali dan kemudian meninggalkan Bu Pratiwi di kamar tidur itu sendirian.
Bu Ros duduk di ruang tengah sambil menunggu Pak Beni, Bu Ros menyalakan televisi dan melihat berita, sampai dia terkantuk-kantuk dan akhirnya tertidur di sofa depan televisi.
****
Bu Ros terbangun ketika mendengar suara ketukan keras di pintu depan rumahnya.
"Ros! Ros! Bukain pintu!" teriak Pak Beni dari luar rumah.
Bu Ros yang baru bangun terhuyung bangkit dan segera membuka pintu depan rumahnya. Pak Beni tersenyum melihat istrinya terkantuk-kantuk ketika membukakan pintu.
"Maaf, ya, aku lupa membawa kunci," kata Pak Beni, Bu Ros mengangguk dan setelah itu dia kembali lagi ke ruang tengah untuk mematikan televisi. Dan saat itulah Bu Ros melihat melihat segelas kopi yang masih utuh di atas meja ruang tengah.
Jantung Bu Ros seketika berdebar kencang. Dia ingat tadi Pak Beni minta diambilkan handuk dan kemudian minta dibuatkan kopi.
"Innalillahi!" desis Bu Ros. Dia merinding. Napasnya tak beraturan karena sangat ketakutan.
Bu Ros mencoba mengingat-ingat kejadian hari ini.
Ada ustadz datang ke rumah Bu Pratiwi.
Mereka memindahkan Bu Pratiwi ke rumahnya.
Lalu ....
Lalu apa yang terjadi? Bu Ros lupa ada kejadian apa setelah itu, karena tiba-tiba saja Bu Ros diminta mengambilkan handuk oleh Pak Beni. Kenapa Bu Ros tidak heran Pak Beni mandi malam-malam seperti tadi? Apa Pak Beni baru pergi? Lalu siapa yang baru datang?
Bu Ros beristighfar berulang kali untuk menenangkan dirinya. Dia mencoba duduk dengan tenang di ruang tengah dan memejamkan matanya, mencoba berkonsentrasi mengingat apa yang terjadi tadi, sebelum Pak Beni minta diambilkan handuk.
"Ros, kenapa ada handuk basah di atas kasur? Kamu belum tidur dari tadi?" tanya Pak Beni, mengagetkan Bu Ros.
Bu Ros membeliak ke arah Pak Beni tak percaya. Berarti yang tadi minta handuk dan minta dibuatkan kopi siapa?
"Itu kopi buatku?" tanya Pak Beni, dia segera mengambil kopi itu dan menjengit.
"Ih, kok udah dingin?" tanya Pak Beni keheranan.
Bu Ros menelan ludah.
"Pak, sepertinya rumah kita juga diteror, seperti rumah Bu Pratiwi!" seru Bu Ros ketakutan. Pak Beni memandang Bu Ros keheranan.
"Diteror gimana, Ros?" tanya Pak Beni, Bu Ros pun menceritakan semuanya pada Pak Beni. Pak Beni mengangguk-angguk paham.
"Berarti kamu diteror, ya, Ros? Kayak gini?" tanya Pak Beni yang tiba-tiba menelengkan lehernya ke kanan dan dengan kedua tangannya mematahkan lehernya. Bunyinya kemeretak mengerikan dan kemudian dengan luwes Pak Beni mengambil kepalanya yang telah putus sepenuhnya dari lehernya dan membawa kepalanya itu dengan kedua tangannya dan meletakkan di depan dadanya. Kepala Pak Beni tersenyum lebar.
Bu Ros diam. Terpaku. Membeku. Sebelum akhirnya menyadari apa yang terjadi, dia menjerit dan pingsan di tempat.
****
Rangga melihat ekspresi Bai yang mendengarkan rekaman itu. Dia tersenyum.
"Saya sangat tertarik dengan kasus ini. Besok kita ke Kampung Mawar lagi, ya? Ustadz Dika masih mau, kan, ke sana?" tanya Bai.
Karena kondisi Dika dengan kaki yang selalu bermasalah, Dika akhirnya diminta untuk meruqyah di pesantren saja. Dan kali ini pun Dika menggeleng.
"Saya skip saja, Ust. Nanti ustadz mencari satu peruqyah lagi untuk menemani Ustadz Bai dan Ustadz Rangga ke Kampung Mawar," jawab Dika.
Bai mengangguk, dia memahami kondisi asistennya.
"Ustadz merekomendasikan siapa, Ust?" tanya Bai.
Dika berpikir sejenak.
"Sepertinya Ustadz Hilmy bisa, Ust," jawab Dika. Bai terdiam, dia berusaha mengingat-ingat yang mana Ustadz Hilmy. Dika tertawa melihat ekspresi Bai yang kebingungan itu.
"Sepupu saya, Ust. Yang dari Karang Wuni," kata Dika.
Wajah Bai menunjukkan ekspresi 'oh' yang begitu jelas, dia mengangguk paham. Mereka kemudian tertawa.
"Ah, ya, Ustadz Hilmy cocok untuk kasus ini. Tolong dipanggilkan ke sini sekalian, ya?" kata Bai. Dika mengangguk dan meminta seseorang untuk memanggilkan Hilmy.
Baru kali itu Rangga bertemu dengan Hilmy. Ternyata Hilmy masih muda dan berkulit sangat putih dan matanya sangat sipit. Rambutnya pendek dan terpotong rapi, dia tidak memakai peci, dan bahkan memakai celana jeans dan kaus warna hitam. Di telinga kanan Hilmy terdapat rentengan anting kecil dan di cuping hidungnya yang sebelah kiri juga terdapat anting kecil. Ah, ustadz yang sangat anti mainstream.
Hilmy menyalami Bai dan juga Rangga, dia memerkenalkan diri pada Rangga.
"Saya Hilmy Widiantoro, Ust. Sepupu dari Ustadz Dika. Salam kenal, Ust. Mohon maaf saya baru pulang dari Saudi, jadi belum sempat berkenalan dengan ustadz," kata Hilmy dengan ramah.
Rangga mengangguk dan memerkenalkan dirinya juga. Mereka berjabatan erat.
Dika menceritakan semua kepada Hilmy. Hilmy mendengarkan dengan antusias, kemudian dia juga diminta mendengarkan rekaman suara Mbok Ginem yang hanya berisi geraman-geraman aneh. Setelah semua selesai, Hilmy terlihat berpikir sejenak, dia nampak agak bingung.
"Masya Allah, luar biasa sekali kasus ini! Astaghfirullah, tipu daya jin yang ini luar biasa sekali!" desis Hilmy. Dia memandang Dika.
"Tadi ustadz bercerita kalau mendengar suara di luar rumah Bu Pratiwi, kan, Ust? Suara apa itu, Ust?" tanya Hilmy.
Rangga terlonjak, oh, iya! Dia melupakan cerita Dika tentang suara itu. Rangga menunggu jawaban Dika, dia melihat ke arah Dika dengan intense.
Tapi aneh! Rangga melihat Dika mengatakan sesuatu, tapi dia tidak bisa mendengar perkataan Dika, perlahan pandangan di depannya kabur, matanya terasa berat. Rangga berusaha melawan kantuk itu, tapi dia tak berdaya. Dia akhirnya memilih untuk tidur saja.