Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aira mulai merasa bahwa dunia kampusnya tidak lagi terasa sepi. Setiap kali dia melewati aula, Zayn selalu ada di sana, menyapanya dengan senyuman hangat yang membuat hatinya terasa lebih ringan. Setiap pertemuan, walaupun singkat, terasa seperti sesuatu yang lebih. Zayn tidak hanya menyapanya secara kebetulan, tetapi selalu tampak berusaha mendekati Aira dengan cara yang halus dan tidak terburu-buru.
Aira semakin bingung dengan perasaannya sendiri. Perasaan yang tumbuh ini tidak bisa lagi ia sebut sekadar rasa kagum atau ketertarikan biasa. Ada sesuatu dalam diri Zayn yang membuat Aira merasa nyaman dan sekaligus cemas. Tidak pernah ada orang yang bisa membuat Aira merasa seperti ini—tersenyum tanpa alasan, merasa ada yang hilang setiap kali Zayn tidak ada di sekitarnya. Tetapi, Aira juga tidak bisa membiarkan perasaan itu berkembang. Baginya, ini terlalu cepat. Zayn adalah teman kuliah, bukan lebih dari itu.
Suatu sore, setelah kuliah selesai, Zayn tiba-tiba mengajaknya untuk belajar bersama. Aira terkejut, tapi tidak bisa menolaknya. "Kamu mau belajar bareng? Aku butuh bantuan nih buat ngerjain tugas yang satu ini," kata Zayn, sambil tersenyum ramah. Aira sedikit ragu, karena biasanya dia lebih memilih belajar sendiri, tetapi dia tidak bisa mengabaikan tawaran itu.
Mereka duduk di sudut kafe kampus, dengan secangkir kopi di meja mereka. Aira berusaha fokus pada materi kuliah yang harus dibahas, tetapi lebih sering teralihkan oleh cara Zayn mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Zayn tidak hanya memperhatikan apa yang Aira katakan, tetapi juga bertanya dengan perhatian yang tulus, seolah-olah ia benar-benar ingin memahami segala hal tentang dirinya.
"Sebenarnya, kamu lebih suka apa sih, Aira?" tanya Zayn, setelah beberapa menit membahas tugas kuliah mereka. "Selain kuliah, maksudnya. Aku dengar kamu suka baca buku, ada genre tertentu yang kamu suka?"
Pertanyaan itu membuat Aira sedikit terkejut. Kenapa Zayn bisa begitu peduli dengan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kuliah? Dia jarang sekali bertanya hal-hal seperti itu, apalagi dengan cara yang begitu lembut. Aira menjawab dengan hati-hati, tetapi tetap merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.