Seiring berjalannya waktu, Aira merasa terjebak dalam perasaan yang semakin berat dan sulit untuk diungkapkan. Setiap kali Zayn mendekat, Aira merasa ada perasaan yang semakin menggebu di dalam dirinya. Senyum Zayn, tatapan hangatnya, cara dia berbicara—semuanya membuat jantung Aira berdegup lebih cepat. Namun, Aira berusaha keras untuk menahannya. Ia takut, takut jika perasaan itu keluar dan berubah menjadi sesuatu yang tidak diinginkan, atau lebih buruk lagi, membuat semuanya menjadi canggung.
Setiap kali Zayn berbicara dengannya dengan cara yang begitu lembut, Aira merasa seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Apa yang akan terjadi jika ia mengungkapkan perasaannya? Bagaimana jika Zayn tidak merasakan hal yang sama? Apakah itu akan merusak hubungan mereka? Bukankah lebih baik tetap diam, menjaga jarak, dan menghindari kekecewaan yang mungkin datang?
Hari-hari berlalu, dan Aira semakin merasa terperangkap dalam kebisuan yang ia ciptakan sendiri. Perasaan yang begitu kuat terhadap Zayn semakin sulit untuk disembunyikan, tetapi setiap kali ia ingin mengungkapkannya, rasa takut itu menghentikannya. Takut akan penolakan, takut akan perubahan yang bisa terjadi. Dalam diam, Aira merasa semakin terasingkan dari dirinya sendiri, terjebak dalam kebingungannya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah perasaan ini akan terus mengganggunya selamanya, ataukah akan ada satu saat ketika ia akhirnya bisa melepaskan beban itu dan menghadapinya?
Setiap kali Zayn menghampirinya di kampus, Aira merasa jantungnya berdegup kencang. Zayn semakin sering mencarinya, mengajaknya untuk berbicara, atau bahkan sekadar menghabiskan waktu bersama setelah kuliah. Tetapi setiap kali Zayn mengajaknya untuk lebih dekat, Aira merasa semakin cemas. Bagaimana dia harus bersikap? Apa yang harus dia katakan? Setiap kali mereka berbicara, hatinya merasa lebih berat, seolah ada sebuah kenyataan yang tak bisa ia hindari lagi.
Pada suatu sore, setelah kuliah, Zayn mengajak Aira untuk nongkrong bersama di kafe favorit mereka. Aira merasa sedikit ragu, tetapi tidak bisa menolak. Mereka duduk di sudut yang tenang, memesan kopi hangat, dan mulai berbicara tentang berbagai hal—kuliah, teman-teman, bahkan topik ringan tentang film yang baru mereka tonton. Namun, meskipun obrolan mereka tampak biasa, Aira merasa ada sesuatu yang tidak biasa di antara mereka. Tatapan Zayn lebih dalam, cara dia memandangnya dengan penuh perhatian membuat Aira semakin sulit untuk mengalihkan perhatiannya.
"Kadang aku bingung, Aira," kata Zayn, suara lembutnya mengalir dengan tenang. "Kamu itu, kayaknya selalu menjaga jarak, ya? Padahal kita udah sering ngobrol dan hang out bareng. Tapi, entah kenapa, aku ngerasa kamu tetap menjaga sesuatu yang nggak bisa aku tembus."