Malam itu, setelah kelas selesai, Zayn mengajak Aira untuk pergi ke taman yang sepi, jauh dari keramaian kampus. Aira, meskipun merasa sedikit terkejut, tidak bisa menolak ajakan Zayn. Mereka berjalan bersama di sepanjang jalan setapak taman yang dipenuhi pohon-pohon besar, udara malam yang segar menyapa mereka dengan lembut. Suasana tenang di sekitar mereka seolah menciptakan ruang yang sempurna untuk berbicara lebih lama, jauh dari hiruk-pikuk rutinitas kampus.
Aira duduk di bangku taman yang terletak agak jauh dari jalur utama, dengan pemandangan langit yang dihiasi cahaya bintang. Zayn duduk di sebelahnya, sedikit menoleh ke arah Aira sambil tersenyum. "Aku sering ke sini waktu kecil," kata Zayn, suaranya tenang, hampir seperti bisikan yang hanya untuk Aira. "Taman ini selalu jadi tempat yang tepat buat berpikir, atau sekadar menikmati kesunyian. Terkadang, kita perlu waktu untuk diri sendiri, untuk merenung."
Aira mendengarkan dengan seksama, merasakan kedekatan yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Zayn kemudian mulai bercerita lebih banyak tentang masa kecilnya, tentang keluarga, dan tentang mimpinya yang belum tercapai. Setiap kata yang keluar dari mulut Zayn terasa penuh makna, dan Aira merasa seperti dia berada dalam dunia yang berbeda, dunia yang hanya ada untuk mereka berdua. Ada kehangatan dalam suaranya, yang membuat Aira semakin merasa nyaman. Meski begitu, ia tetap menahan perasaan itu, tidak ingin terlalu terbawa oleh momen yang begitu intim.
Aira sesekali ikut tertawa ketika Zayn menceritakan kisah lucu dari masa kecilnya. Zayn selalu tahu bagaimana membuat Aira merasa ringan. Namun, meskipun mereka tertawa bersama, Aira merasa ada sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang menggantung di udara malam itu. Setiap kali Zayn memandangnya, ada tatapan yang sulit Aira artikan. Tatapan itu tidak hanya sekadar pertemanan. Ada kedalaman yang tidak bisa dia jelaskan, seolah Zayn ingin mengatakan sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ringan.
Aira merasa jantungnya berdegup kencang setiap kali mata Zayn bertemu dengannya. Tetapi ia berusaha keras untuk tetap tenang. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan itu. Apakah Zayn hanya bersikap seperti ini karena dia memang peduli sebagai teman? Ataukah ada sesuatu yang lebih, yang tidak pernah terucapkan? Aira mencoba untuk menenangkan diri, tetapi perasaan itu semakin kuat, semakin menguasai pikirannya. Semua kata-kata yang ingin ia katakan terasa begitu sulit untuk keluar, terperangkap di tenggorokan.