Aira berjalan sendirian di lorong kampus, pikirannya masih dipenuhi dengan perasaan yang semakin sulit untuk dipahami. Setiap kali Zayn menyapanya, senyum hangatnya yang cerah selalu membuat hatinya berdebar-debar. Setiap kali mereka berbicara, Aira merasa ada ikatan yang tak terucapkan, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Namun, di sisi lain, Aira juga merasa takut. Takut akan kenyataan bahwa mungkin perasaannya hanya sebatas kekaguman, dan takut jika mengungkapkan perasaannya justru akan merusak apa yang sudah terjalin di antara mereka.
Pagi itu, Aira bertemu dengan sahabatnya, Livia, di kafe kampus. Livia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Aira merasa sedikit lebih tenang. Mereka duduk di pojokan kafe yang agak sepi, menikmati secangkir kopi sambil berbicara. Aira tahu, inilah waktu yang tepat untuk berbicara tentang kebingungannya.
"Aira, kamu nggak bisa terus-terusan diam kayak gini," kata Livia, sambil menatapnya serius. "Kamu harus bicara, kalau nggak, kamu akan terus hidup dalam kebisuan dan nggak akan tahu apa yang sebenarnya Zayn rasakan."
Aira menghela napas panjang, mengaduk-aduk kopinya tanpa menyentuhnya. "Aku nggak tahu, Liv. Setiap kali aku bertemu Zayn, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Tapi aku takut, kalau aku salah paham, kalau aku cuma berlebihan. Aku nggak mau merusak hubungan kita yang sudah ada."
Livia tersenyum lembut, menyentuh tangan Aira dengan penuh pengertian. "Aira, perasaan itu wajar kok. Kalau kamu terus menyembunyikan perasaanmu, kamu nggak akan tahu apa yang terjadi. Tapi ingat, jangan terlalu berharap kalau kamu belum jelas apa yang Zayn rasakan. Yang penting, kamu harus jujur pada diri sendiri."
Aira terdiam, merenung. Nasihat Livia masuk ke dalam hati, tapi rasa takut dan cemasnya masih kuat. Ia tidak ingin mengorbankan persahabatan mereka, namun setiap detik yang berlalu, perasaannya semakin membebani. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, dan tidak tahu jalan mana yang harus diambil.