Hari-hari semakin berlalu, dan Aira merasakan perubahan yang semakin dalam setiap kali berinteraksi dengan Zayn. Setiap langkahnya di kampus terasa lebih ringan, dan setiap kali mereka bertemu, ada getaran halus yang membuatnya merasa seperti sedang berjalan di atas awan. Zayn mulai mencari Aira lebih sering, seolah tidak ada hari tanpa percakapan singkat atau ajakan untuk duduk bersama di kafe. Meskipun Aira tetap berusaha menjaga jarak, ia tidak bisa menahan perasaan yang semakin tumbuh di dalam hatinya.
Di kelas, Zayn selalu duduk di sebelahnya, memperhatikan Aira dengan penuh perhatian. Terkadang, mereka bertukar pendapat tentang materi kuliah, atau berbicara tentang tugas yang harus diselesaikan. Namun, tidak jarang Zayn juga mengajaknya berbicara tentang hal-hal pribadi, seperti mimpi, ketakutan, atau bahkan kenangan masa kecil. Aira merasa bahwa Zayn tidak hanya sekadar teman yang ingin berbicara soal akademis, tetapi juga seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya lebih dalam.
"Jadi, Aira, apa yang paling kamu takutkan dalam hidup?" tanya Zayn suatu sore, ketika mereka sedang duduk di taman kampus, menikmati udara segar setelah kelas selesai.
Aira terdiam sejenak, berpikir. Ia jarang sekali membuka diri tentang ketakutannya. Namun, melihat ke dalam mata Zayn yang penuh perhatian, Aira merasa ada kenyamanan yang membuatnya ingin berbagi. "Aku takut... takut kalau aku membuka diri dan orang-orang pergi begitu saja," jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Zayn menatapnya dengan lembut, seolah memahami perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata itu. "Kamu nggak perlu takut, Aira," ujarnya dengan senyum yang menenangkan. "Aku di sini, nggak akan pergi. Kamu nggak perlu merasa sendiri."
Kata-kata Zayn itu seperti memberikan rasa aman, tetapi juga menambah kebingungan dalam hati Aira. Apakah Zayn hanya peduli sebagai teman, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian itu? Setiap kali Zayn berbicara dengannya dengan cara yang begitu penuh perhatian, Aira merasa hatinya semakin terikat, namun ia juga takut jika ia terlalu berharap. Ia tidak tahu bagaimana seharusnya ia merasa.
Zayn tidak hanya berbicara tentang ketakutan, namun juga tentang kebahagiaan dan impian mereka. "Aku ingin suatu hari bisa mengubah dunia, Aira," kata Zayn suatu sore, saat mereka duduk berdua di kafe setelah kelas. "Aku ingin melakukan sesuatu yang besar, yang bisa membuat orang lain merasa bahagia."