Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aira merasa perasaannya semakin membingungkan. Hubungannya dengan Zayn yang sebelumnya terasa nyaman dan hangat kini mulai diselimuti oleh perasaan cemburu yang tak bisa ia kendalikan. Meskipun mereka masih sering bersama, Aira mulai merasakan adanya perubahan yang halus namun jelas. Zayn tidak hanya dekat dengannya, tetapi juga semakin sering bergaul dengan teman-teman lain. Setiap kali Aira melihat Zayn tertawa bersama mereka, ada perasaan tidak nyaman yang tumbuh di dadanya.
Pagi itu, Aira dan Zayn berencana untuk belajar bersama di perpustakaan. Namun, saat Aira tiba, Zayn sudah duduk bersama dua teman sekelas mereka, Fira dan Iwan. Mereka tertawa bersama, seolah tidak memperhatikan Aira yang baru saja datang. Aira merasa sedikit terpinggirkan, meskipun ia tahu bahwa Zayn tidak bermaksud seperti itu. Tetapi entah kenapa, ada perasaan lain yang mengusik hatinya—perasaan bahwa Zayn lebih memperhatikan orang lain daripada dirinya.
Aira mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu dan duduk di meja sebelah, berusaha untuk fokus pada tugas kuliah. Namun, perasaan cemburu itu tidak bisa ia hilangkan. Setiap kali Zayn tersenyum atau berbicara dengan Fira atau Iwan, hatinya terasa sakit. Ia tahu bahwa Zayn berhak berteman dengan siapa saja, tetapi kenapa hatinya merasa terbelah? Kenapa ia merasa tidak cukup?
Di tengah-tengah kebingungannya, Aira merasa ada dorongan kuat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Zayn. Ia tidak bisa terus-menerus memendam perasaan ini. Setiap detik yang ia habiskan bersama Zayn membuatnya merasa semakin dekat, namun juga semakin takut. Takut kalau Zayn tidak merasakan hal yang sama, takut kalau hubungan mereka yang selama ini terjalin akan hancur begitu saja setelah ia mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Kenapa aku harus merasa cemburu?" pikir Aira, mencoba menenangkan dirinya. "Ini bukan hanya tentang aku dan Zayn, dia berhak memiliki teman-teman lain. Aku nggak bisa terus-terusan merasa seperti ini."
Namun, semakin ia mencoba menepis perasaan itu, semakin kuat perasaan cemburunya. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan bukan hanya sekadar kekaguman. Ada perasaan lebih dalam, yang tidak bisa ia kontrol. Cemburu itu bukan hanya karena Zayn berteman dengan orang lain, tetapi karena ia takut kehilangan tempat di hati Zayn, tempat yang telah ia tempati sejak pertama kali mereka berbicara.
Hari berikutnya, Zayn mengajak Aira untuk pergi makan siang bersama di kantin kampus. Aira datang dengan perasaan campur aduk. Zayn tampak ceria, seperti biasa, tetapi Aira merasa ada ketegangan di udara. Mereka duduk berdua di meja yang agak terpisah dari kerumunan, dan Aira mulai membuka percakapan dengan ringan, berharap bisa meredakan kecemasannya.