Suatu sore, setelah kuliah selesai, Zayn mengajak Aira untuk berjalan-jalan ke taman yang terletak tidak jauh dari kampus. Taman itu cukup sepi dan tenang, dengan pepohonan yang rindang dan bangku-bangku kayu yang tampak mengundang. Sejak awal, Aira sudah merasa ada sesuatu yang berbeda dengan undangan Zayn kali ini. Ada nuansa yang lebih intim, seolah-olah mereka akan berbicara lebih dalam dari sekadar obrolan ringan yang biasa.
Aira merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa ia sia-siakan. Setiap kali mereka berbicara, Zayn selalu membuatnya merasa dihargai, seolah-olah ia adalah satu-satunya orang yang penting di dunia ini. Aira merasa semakin terikat dengan Zayn, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi.
Saat mereka tiba di taman, Zayn mengajak Aira duduk di bangku yang terletak di bawah pohon besar. Suasana sekelilingnya begitu damai, hanya terdengar suara daun-daun yang bergesekan oleh angin sepoi-sepoi. Zayn memulai percakapan dengan ringan, bertanya tentang hari-hari Aira dan bagaimana ia menjalani kuliah. Namun, kali ini ada ketulusan yang lebih dalam di mata Zayn. Ia tidak hanya sekadar bertanya tentang kegiatan Aira, tetapi juga tentang perasaannya, tentang apa yang membuat Aira bahagia atau takut.
“Aira,” kata Zayn dengan suara lembut, “aku merasa seperti kita sudah banyak berbicara tentang banyak hal, tapi aku masih merasa ada bagian dari dirimu yang belum aku ketahui. Apa yang sebenarnya kamu harapkan dari hidup ini? Apa yang membuat kamu merasa hidup?”
Aira terdiam, terkejut dengan pertanyaan Zayn yang mendalam. Ia tidak terbiasa membicarakan perasaannya dengan orang lain, apalagi dengan Zayn yang selama ini hanya ia anggap sebagai teman. Namun, ada sesuatu dalam suara Zayn yang membuatnya merasa nyaman untuk terbuka.
“Pernahkah kamu merasa, Zayn,” jawab Aira pelan, “bahwa kamu ingin seseorang benar-benar melihatmu, memahami siapa kamu tanpa perlu kata-kata? Aku… aku merasa seperti itu. Aku ingin menjadi seseorang yang berarti, bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi diriku sendiri.”