Aira duduk diam di meja kafe, tangannya menggenggam erat cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Malam itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara. Setiap kali Zayn mengajaknya berbicara, hatinya berdebar dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Sebuah perasaan yang sudah terlalu lama dipendam, terlalu takut untuk diungkapkan. Namun, kali ini, Aira tahu bahwa ia tidak bisa lagi menghindar.
Semenjak beberapa minggu terakhir, Zayn telah mencoba berbagai cara untuk mendekati Aira. Ia tidak pernah memaksanya, tetapi kesabaran Zayn membuat Aira merasa semakin terpojok. Dalam hati, Aira tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar. Namun, ketakutannya akan konsekuensi dari keterbukaan itu terus membelenggunya. Apa yang akan terjadi jika Zayn tidak merasakan hal yang sama? Apa yang akan terjadi jika ia kehilangan Zayn setelah mengungkapkan perasaannya?
Aira tahu bahwa saat itu sudah tiba. Zayn menatapnya dengan serius, matanya penuh pertanyaan yang belum terjawab. Setelah beberapa saat diam, Zayn membuka mulutnya.
"Aira, ada yang ingin aku tanyakan. Kenapa kamu selalu menghindar? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?" tanya Zayn dengan nada yang lembut, namun penuh harapan.
Aira terdiam, seperti ada batu besar yang menghalangi saluran pernapasannya. Bibirnya kering, dan kata-kata terasa sangat sulit untuk keluar. Semua yang ingin ia katakan seakan terhenti di tenggorokannya. Ia menunduk, mencoba mencari kekuatan untuk berbicara. Namun, jantungnya berdegup begitu kencang sehingga membuatnya merasa hampir sesak.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Aira akhirnya mengangkat kepala, menatap mata Zayn yang penuh perhatian. Ia tahu ini adalah momen yang tidak bisa ia lewatkan lagi. Momen di mana ia harus memilih, apakah akan terus memendam rasa ini atau melepaskan semuanya dengan risiko kehilangan segalanya.
"Aku… aku takut," ujar Aira, suaranya hampir tidak terdengar. Ia merasa cemas, takut jika kata-kata itu keluar dengan cara yang salah.