Aira merasa dunia seakan berputar lebih cepat setiap kali Zayn berada di sekitarnya. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, perasaan yang tak terucapkan semakin menggerogoti hatinya. Di satu sisi, Aira merasa ingin mengungkapkan perasaannya kepada Zayn, ingin membebaskan dirinya dari beban yang telah lama ia simpan. Namun, di sisi lain, ketakutannya akan kehilangan, ketakutannya untuk membuka hatinya dan menerima kenyataan, membuatnya ragu. Perasaan itu semakin kuat, namun semakin ia menahannya, semakin ia merasa terperangkap.
Zayn, di sisi lain, tidak tahu betapa beratnya beban yang dipikul Aira. Ia melihat Aira semakin cemas, semakin sering menghindari percakapan yang lebih dalam, semakin sering menjaga jarak. Namun, Zayn juga tahu bahwa Aira tidak bermaksud menjauh darinya. Ia tahu bahwa semua itu berasal dari ketakutan yang menguasai Aira. Zayn berusaha keras untuk memahami, mencoba untuk memberi ruang dan waktu, tetapi terkadang, ia merasa frustasi. Setiap kali mereka berbicara, ia merasakan ada sesuatu yang menghalangi Aira untuk benar-benar terbuka.
Pada suatu sore yang cerah, Zayn mengajak Aira berjalan-jalan di taman kampus, seperti yang sering mereka lakukan. Namun kali ini, suasananya berbeda. Zayn bisa merasakan ketegangan di udara. Aira tampak lebih diam dari biasanya, bahkan lebih cemas. Mereka berjalan dalam keheningan yang agak canggung, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Zayn akhirnya memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Aira," kata Zayn pelan, menatap Aira yang terlihat lebih tenang daripada biasanya, "Kamu masih merasa takut, ya? Aku bisa merasakannya. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini bukan untuk membuatmu merasa tertekan. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau kamu siap, aku akan selalu ada di sini."
Aira berhenti sejenak, menatap Zayn dengan mata yang penuh keraguan. Kata-kata Zayn menggema dalam hatinya. Ia ingin percaya, ingin sekali membuka hati dan mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. Namun, ketakutannya begitu besar. Jika Zayn tidak merasakan hal yang sama? Jika semuanya berakhir begitu saja, jika persahabatan mereka hancur karena perasaan yang tak terbalas? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepala Aira, membuatnya semakin bingung.
"Zayn…" suara Aira terhenti, lalu ia menarik napas panjang. "Aku… aku takut. Aku takut kalau aku terlalu berharap, dan akhirnya aku hanya terluka. Aku takut kalau kamu tidak merasa sama seperti yang aku rasakan."