Kisah dari Desa

Hendra
Chapter #1

Awal dari Sebuah Mimpi

Matahari perlahan-lahan tenggelam di balik perbukitan, memancarkan warna jingga keemasan yang indah. Desa Sukaasih, tempat di mana Dika, Rina, dan Budi lahir dan dibesarkan, tampak tenang. Udara sore yang sejuk, suara gemericik air dari sungai kecil, dan bau sawah yang baru dipanen menciptakan suasana damai yang khas dari desa itu. Namun, di tengah ketenangan tersebut, tiga sahabat ini duduk merenung di bawah pohon besar di pinggir desa, wajah mereka memancarkan kecemasan yang sulit disembunyikan.


Dika, yang duduk dengan punggung bersandar di batang pohon, sesekali menggerakkan pensil di buku catatannya. Pemuda berambut ikal dengan postur tegap ini memang selalu serius dalam berpikir. Tapi kali ini, pikirannya tak berhenti memikirkan masa depan. Di sebelahnya, Rina tampak diam, memandangi hamparan sawah di kejauhan. Rambut panjangnya yang selalu diikat rapi tampak sedikit acak-acakan diterpa angin. Meski terlihat tenang, dia sedang berusaha menyembunyikan keresahannya. Sementara itu, Budi, yang biasanya penuh canda tawa, duduk bersila sambil mengupas jeruk. Wajahnya cerah, tapi kali ini senyum yang biasa menghiasi bibirnya tak tampak.


“Gue bingung, Di,” kata Budi tiba-tiba, memecah keheningan. “Kita udah coba ke kota, udah cari kerja sana-sini, tapi hasilnya nol besar. Kayaknya jalan buat kita makin mentok.”


Dika berhenti menulis dan menatap kedua sahabatnya. “Iya, Bud. Gue juga ngerasa gitu. Setelah lulus sekolah, gue kira kita bakal gampang dapet kerja, tapi kenyataannya gak sesederhana itu.”


“Kita emang gak punya pilihan banyak,” tambah Rina dengan suara lirih. “Kita gak bisa terus-terusan kayak gini. Gak mungkin cuma ngandelin bantuan dari orang tua terus.”


Suasana semakin hening setelah Rina berbicara. Perasaan mereka bertiga campur aduk. Di satu sisi, mereka sadar bahwa hidup di desa memang menawarkan ketenangan yang tak bisa didapatkan di kota. Tapi di sisi lain, mereka tahu kalau mereka tak bisa selamanya diam menunggu. Mereka butuh melakukan sesuatu.


Dika menghela napas panjang, kemudian angkat bicara. “Gue ada satu ide. Mungkin ini bisa jadi jalan keluar buat kita.”


Rina dan Budi menoleh serempak, memperhatikan Dika dengan lebih serius.


“Gue mikir,” lanjut Dika sambil menatap lurus ke depan, “kenapa kita gak bikin usaha sendiri? Di desa ini sebenarnya banyak potensi, cuma jarang dimanfaatin. Kayak kerajinan bambu, misalnya. Gue denger dari Pak Harjo, pengrajin di sini sebenarnya punya kemampuan bikin barang bagus. Cuma masalahnya mereka gak bisa jual ke luar.”


Rina mengernyitkan kening. “Kerajinan bambu? Maksud lo, kita jualan barang-barang dari bambu? Emang bisa laku, Di?”


“Bisa,” jawab Dika dengan yakin. “Kita gak cuma bikin yang biasa-biasa aja. Kita kembangin jadi lebih modern, lebih kreatif. Barang-barang kayak gitu banyak dicari di kota, apalagi buat dekorasi rumah. Gue pernah lihat di pameran, barang dari desa-desa kecil harganya bisa mahal banget. Cuma masalahnya, kita harus tahu cara bikin yang bagus dan gimana cara jualnya.”


Budi, yang tadinya hanya mendengarkan, tiba-tiba ikut bersuara. “Wah, kalau kayak gitu, kita bisa mulai usaha dari yang kecil, kan? Gue yakin, asal kita niat, pasti ada jalan. Lagi pula, daripada kita cuma nongkrong di sini gak jelas terus, mending kita coba aja.”


Rina tampak masih ragu. “Tapi, kita gak punya pengalaman, Di. Gimana cara mulai? Apalagi modal kita juga gak banyak.”


Dika tersenyum tipis. “Kita gak perlu langsung gede. Kita bisa belajar dari Pak Harjo dulu. Gue yakin dia mau bantu kita. Kita mulai dari yang kecil, belajar cara bikin produk yang bisa dijual. Soal modal, kita pakai tabungan gue dulu. Kalau kurang, kita coba pinjam ke koperasi desa. Yang penting, kita mulai dulu.”


Rina diam sejenak, memikirkan perkataan Dika. Meski terdengar berisiko, dia tahu Dika bukan orang yang asal bicara. Kalau Dika sudah punya ide, biasanya dia sudah memikirkan rencana matang di baliknya. Akhirnya, dia mengangguk pelan. “Yaudah, kalau kalian yakin, gue ikut. Tapi kita harus serius, ya. Gue gak mau setengah-setengah.”


Budi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Oke! Ini baru seru! Kita mulai kapan?”


Dika tertawa kecil melihat antusiasme sahabatnya. “Besok pagi, kita ke rumah Pak Harjo. Kita mulai dari sana.”


---


Esok paginya, langit cerah tanpa awan. Matahari baru saja terbit ketika Dika, Rina, dan Budi berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Pak Harjo. Di desa kecil mereka, rumah Pak Harjo adalah salah satu yang paling sering disinggahi orang. Bukan karena megah atau mewah, tapi karena Pak Harjo dikenal sebagai pengrajin bambu terbaik di desa. Di usia lima puluhan, pria tua ini sudah puluhan tahun mengolah bambu menjadi berbagai kerajinan, mulai dari tikar hingga perabot rumah tangga.


Ketika mereka tiba, Pak Harjo sedang duduk di beranda rumahnya, menganyam bambu dengan cekatan. Ketiga sahabat itu mendekat, dan Pak Harjo menyambut mereka dengan senyum ramah.


“Wah, tumben pagi-pagi kalian ke sini. Ada apa, nih?” tanya Pak Harjo dengan logat desanya yang kental.


Dika maju mewakili teman-temannya. “Pak, kami mau belajar soal kerajinan bambu. Kami kepikiran buat mulai usaha kecil-kecilan, dan kami mau belajar dari Bapak.”


Pak Harjo memandang mereka bertiga dengan tatapan heran. “Belajar kerajinan bambu, kalian bilang? Ini serius?”


“Serius, Pak,” jawab Dika dengan penuh keyakinan. “Kami mikir, daripada kita susah cari kerja di kota, lebih baik kita manfaatin apa yang ada di sini. Bapak kan tahu, barang-barang dari desa ini sebenarnya punya nilai jual tinggi. Cuma, gak banyak yang tahu gimana cara pasarinya. Nah, kita mau coba bantu itu.”


Pak Harjo menggaruk kepalanya yang mulai beruban. “Hmm… ide kalian bagus. Tapi kerajinan itu butuh kesabaran, apalagi buat pemula. Banyak yang mulai, tapi setelah lihat susahnya, malah mundur di tengah jalan.”


“Kami gak akan mundur, Pak,” jawab Budi, penuh semangat. “Kami serius, beneran mau belajar.”

Lihat selengkapnya