Tenggara menghirup napas dalam-dalam saat menginjak kakinya di tanah yang berwarna merah seperti batu bata. Dia menatap bangunan di hadapannya dengan tatapan mengernyit. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya menyangka akan tinggal di tempat ini untuk beberapa bulan ke depan. Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu akan menjadi guru sementara di desa antah berantah ini karena sebuah hukuman.
“Jadi itu sekolahnya?” tanya Tenggara menunjuk sebuah bangunan menyerupai gubuk di sebelah rumah pondok yang akan ditinggalinya. “Apa nggak ada yang bagusan dikit, Pak?”
Lelaki berbadan kekar dengan kumis menyerupai anjing laut itu hanya tersenyum. “Di desa ini hanya ada satu sekolah ini, Mas Tenggara.”
Tenggara melenguh membayangkan menjadi pengajar di tempat antah berantah ini. Kalau ada satu hal yang paling tidak disukainya di dunia ini adalah anak-anak. Bagi Tenggara, anak-anak hanyalah jelmaan monster karena sikapnya yang terkadang begitu menyebalkan.
“Apa di sini ada sinyal?”
Lelaki bernama Pak Bima menggeleng. “Di sini sama sekali tidak ada sinyal, kalau mau telepon harus ke tempat yang tinggi dulu.”
Tenggara langsung lemas, sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan di desa ini. Dia mendebas kesal karena ayahnya mengirmnya ke sini. Dia tahu apa yang dilakukannya sangat fatal dan dia tidak mempunyai alasan lain menolak hukuman ini.
Perjalanan dari Jakarta ke desa ini yang hampir memakan waktu satu hari penuh membuat kaki terasa pegal. Dia tiba di Terminal Giwangan pukul dua sore, dari terminal itu dijemput sebuah mobil bak terbuka yang kebetulan hendak mengantarkan bahan pokok ke desa ini. Perjalanan dari terminal ke desa Menjangan memakan waktu kurang lebih dua jam.
Sang ayah bahkan menolak gagasan Tenggara untuk menggunakan pesawat supaya lebih efisien sampai di Yogyakarta. Beliau berpendapat perjalanan menggunakan kereta adalah pilihan yang tepat baginya untuk merenungi segala perbuatannya yang begitu buruk selama ini.
“Mari saya tunjukkan dalamnya.” Pak Bima mempersilakan Tenggara masuk. “Di sekolah itu ada sembilan murid dari berbagai usia. Santai saja, ya, Mas Tenggara, nanti kamu juga akan terbiasa tinggal di sini.”
“Panggil saja Garra, Pak.”
Pak Bima hanya tersenyum.
Tenggara mengikuti Pak Bima masuk ke bangunan yang masih terbuat dari kayu berwarna hijau kusam. Bangunan itu menyerupai sebuah pondok berukuran sekitar sepuluh meter persegi. Dindingnya terbuat dari kayu alba dan atapnya masih menggunakan seng yang dilapisin anyaman daun nipah.
Sekolah dan pondok dikelilingi hutan yang masih asri. Sekolah ini berada di sebuah desa terpencil yang ada di selatan Yogyakarta. Desa ini mempunyai sekitar seratus kepala keluarga. Sebagian besar penduduk desa ini menggantungkan hidup pada hasil perkebunan maupun pertanian.
“Kamu guru ketiga yang datang ke desa ini,” ujar Pak Bima. “Semoga betah, ya.”
Tenggara berusaha untuk tersenyum. Walau hatinya menolak akan betah di sini, tapi dia sudah berjanji pada kakaknya dan ingin membuktikan pada sang ayah kalau dia tidak sepayah yang dituduhkan.
“Kalau kamu menolak menggantikan Pijar menjadi relawan guru di sana, ayah akan menghentikan semua fasilitas untukmu, Ra. Nggak ada lagi mobil, uang saku dan kamu harus pergi dari rumah ini,” ucapan ayahnya kembali terngiang di kepala Tenggara.
“Kenapa aku harus melakukan itu, Pah?” bantah Tenggara kala itu. “Papa tahu sendiri aku benci anak-anak, jadi nggak mungkin bisa jadi guru relawan di sana.”
“Papa nggak mau dengar alasan apa pun, pokoknya kamu harus pergi ke sana untuk menggantikan kakakmu. Ini semua juga salahmu yang menyebabkan Pijar tidak bisa menjadi relawan di sana.”
Tenggara kembali melenguh. Tidak ada gunanya membantah ucapan ayahnya.
“Hanya empat bulan,” gumamnya dalam hati. “Gue pasti bisa mengatasinya.”
“Nanti ada orang yang akan menjadi pemandumu di sini,” ucap Pak Bima kembali mengembalikan lamunan Tenggara ke masa kini. “Namanya Bumi, biar dia yang menunjukkan tempat-tempat di desa ini dan apa-apa saja yang akan menjadi tugasmu selama menjadi pengajar. Kalau begitu, saya pergi dulu, Mas Garra.”
Tenggara hanya mengangguk saat melihat Pak Bima meninggalkannya karena jam tugas sudah selesai. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Perjalanan dari Jakarta ke desa ini membuatnya lelah. Punggungnya terasa remuk saat turun dari mobil yang membawa ke desa ini.
Tenggara kemudian membongkar koper sembari mengamati tempat yang akan dia tinggali untuk sementara waktu. Pondok ini berlantai kayu yang menguarkan aroma apak. Sepertinya tempat ini sudah berbulan-bulan tidak pernah dibersihkan. Di beberapa dinding pondok bahkan sudah ditumbuhi lumut dan sarang laba-laba.
Tenggara menggerutu kesal, bisa-bisanya mereka tidak membersihkan tempat ini sebelum dia datang. Dalam bayangannya, penduduk di sini pastilah orang-orang kolot dan super jorok.
Sebuah ranjang kecil dengan kasur busa kusam dan tipis tergeletak di pojok ruangan. Sebuah bangku dan kursi juga menghiasi sudut ruangan. Ada sebuah lemari plastik kecil yang akan digunakan untuk menyimpan pakaian. Beruntung dia sudah diberitahu kakaknya supaya tidak terlalu banyak membawa pakaian, karena bagi Tenggara lemari kecil itu hanya untuk pakaian kotor saat masih hidup di Jakarta.
Tenggara membongkar barang bawaan, lalu mulai meletakkan beberapa buku dan komik ke atas meja. Dia juga merapikan peralatan mandi dan kembali mendebas sebal karena lupa membawa tempat untuk meletakkan sikat gigi beserta sabun.
Tenggara mencari sesuatu yang bisa dijadikan wadah dan tidak menemukannya. Dia terpaksa meletakkan perlengkapan mandi ke kantong keresek, lalu mencantolkan ke sebuah paku berkarat di belakang pintu.
Pemuda beralis tipis itu kembali menarik napas dan mengembuskan secara perlahan. Pandangan kembali menyapu ruangan di depannya. Ini sangat berbeda dengan kamarnya di Jakarta yang nyaman dan hangat. Pondok ini lebih cocok untuk kandang sapi daripada tempat tinggal.
“Ada ya orang yang bisa tinggal di tempat seperti ini?” gumamnya lagi.
Tenggara langsung menutup hidung saat masuk ke kamar mandi dan mencium aroma pesing yang sangat menyengat. Dia muntah-muntah saat melihat kloset yang sangat kotor. Dia tidak bisa membayangkan betapa banyak kuman dan bakteri bersarang di tempat ini. Seumur hidupnya tidak pernah melihat pemandangan kotor seperti ini.