Suara ketukan pintu membuat Tenggara terlonjak dari tidurnya. Cahaya lentera membentuk bayangan abstrak di dinding pondok yang membuat bergidik. Tenggara mengambil ponsel dan menyadari waktu masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Semalaman suntuk dia tidak bisa memejamkan mata karena cemas. Tinggal di tempat baru seperti ini membuat pikiran ke mana-mana dan selalu membuatnya selalu waspada.
Ketukan di pintu semakin keras terdengar. Tenggara ingat cerita yang pernah didengar teman-temannya saat masih di Jakarta, konon hutan merupakan salah satu sarang demit. Dia bergidik membayangkan kalau ketukan itu adalah pertanda datangnya hantu. Tenggara sama sekali tidak mau bertemu makhluk yang selalu digambarkan menyeramkan itu di tempat ini.
“Nak Tenggara!” Sebuah suara terdengar memanggil namanya. Ditariknya selimut sampai menutup kepala. Dada Tenggara berdebar sangat kencang membayangkan sesuatu yang berwajah menyeramkan menembus pintu dan tersenyum ke arahnya. Dia merapalkan doa-doa yang dia ingat saat tiba-tiba mencium aroma melati. Tengkuk Tenggara semakin meremang, ketukan di pintu dan aroma melati di dini hari memang pertanda kehadiran makhluk supranatural.
“Assalamuaikum, Nak Tenggara.” Suara itu kembali terdengar memanggil namanya. Pemuda itu kembali menyibak selimut dan merasa bimbang. Apakah demit bisa mengucapkan salam? Dia ingat cerita Robi—teman kuliah di Jakrta yang mengatakan jangan pernah menyahut atau mengambil apa pun di dalam hutan kalau mau selamat. Bisa saja suara-suara ganjil itu merupakan campur tangan makhluk tidak kasat mata yang meminta tumbal.
“Sepertinya masih tidur,” ucap suara dari luar. “Biarkan saja dulu, mungkin dia semalam nggak bisa tidur karena baru pertama kali tinggal di sini.”
“Tapi ini sudah waktunya salat Subuh,” timpal suara lain. “Sebagai seorang muslim wajib mengingatkan sesama muslim.”
Tenggara menajamkan telinga. Itu sama sekali tidak terdengar seperti suara hantu. Mungkin saja suara itu salah satu penduduk desa Menjangan, tapi mau apa penduduk jam segini datang menemuinya?
Perlahan Tenggara bangkit dari tidurnya, lalu berjalan menuju pintu. Cahaya api dari lentera bergoyang tertiup angin hutan yang menggigilkan.
“Ada apa, Pak?” tanya Tenggara saat membuka pintu dengan wajah masih mengantuk. Tenggara melihat tiga orang lelaki paruh baya tesenyum ke arahnya. Mereka mengenakan pakaian koko dan sarung, sebuah sajadah tergantung di pundak mereka.
“Oh, ndak apa-apa, Nak,” ujar salah satu penduduk yang rambutnya beruban. “Kami cuma mau ngajak subuhan, siapa tahu Nak Tenggara mau berangkat bareng ke masjid.”
“Saya subuhan di sini saja.” Tenggara memilih berbohong.
“Ya sudah kalau begitu.” Lelaki kedua yang memakai sarung bermotif kotak-kotak tersenyum ramah. “Kami permisi dulu, takut keburu ikamah. Oh, ya, arah kiblatnya ke sana.” Lelaki itu menunjuk sebuah arah.
Tenggara tersenyum dipaksakan. “Terima kasih sudah membangunkan saya, Pak.”
“Sama-sama, Nak. Kami pergi dulu, assalamualaikum.”
“Walaikumsallam.”
Ketika penduduk itu pergi meninggalkan pondok, Tenggara kembali ke kasur untuk tidur. Dia menyetel alarm pukul enam tanpa melaksanakan salat Subuh dan beberapa menit kemudian kembali terlelap.
***
Tepat pukul enam pagi, Tenggara terbangun saat mendengar alarm berdering nyaring. Badan Tenggara terasa pegal semua karena kasur dan bantal yang keras. Ini sangat berbeda dengan keadaan rumah di Jakarta. Kalau di Jakarta dia tidur di ranjang yang empuk dan hangat, sedangkan pondok ini dia harus terbiasa tidur dengan nyamuk yang hampir semalaman suntuk menyedot darahnya tanpa ampun.
Tenggara merapikan tempat tidur yang berbau apak dan memekik saat melihat seekor kaki seribu keluar dari bawah kasur. Dia kemudian mengambil selembar tisu dan mencomot binatang menggelikan itu, lalu membuangnya lewat jendela.
Aroma hutan yang sejuk langsung menyambut saat Tenggara membuka pintu dan jendela pondok. Sinar matahari masih bersembunyi di balik awan. Langit tampak sangat cerah, membuatnya menyadari kalau selama ini dia tidak pernah melihat langit secerah dan sebersih ini. Beberapa burung gereja dan parkit beterbangan dan sebagian melompat-lompat di halaman pondok. Aroma bunga-bunga yang harum dan manis menyesap ke dalam hidungnya.
Di depan pondok ada kebun luas yang ditanami singkong, pisang dan beberapa tanaman rempah yang tidak diketahui namanya. Tepat di sisi jalan pondok itu terdapat kebun jagung yang masih muda. Beberapa penduduk memandang Tenggara dengan tatapan heran dan saling berbisik. Tampaknya penduduk desa Menjangan belum tahu kedatangan dirinya sebagai guru pengganti.
Masih ada waktu dua jam sebelum sekolah dimulai dilihat jadi jadwal yang diberikan Bumi kemarin. Ini memang bukan pertama kali bagi pemuda berkulit putih itu menjadi pengajar. Tenggara pernah menjadi relwan di sebuah SD di daerah Kunciran selama tiga hari saat dia membantu kakak perempuannya.
“Menjadi guru itu harus sabar, Tenggara,” hibur Pijar yang saat itu melihat wajah masam adiknya ketika menjadi guru di kelas empat SD. “Jangan terlalu keras sama anak-anak. Dunia anak identik dengan bermain, kita bisa menggunakan metode bermain sambil belajar.”