Hari ini berjalan lambat bagi Darren. Remaja kelas dua SMA itu tidak sanggup lagi mendengar pelajaran. Otaknya lelah, lama tidak tidur nyenyak. Dengan gerak malas, Darren membenamkan diri di kursi kayunya yang keras. Memainkan bolpen berbahan plastik dengan memutarnya di tangan kanannya yang cekatan.
Enak rasanya berada di barisan belakang. Sesekali bisa santai, tanpa menarik perhatian guru yang mengajar di depan kelas. Itulah yang selalu dipikirkan Darren kala lelah mengalahkan semangat belajarnya.
Sesekali remaja itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tepat di sebelah kirinya. Batinnya berharap bisa melihat panorama yang mampu menghilangkan dahaga dalam pikirannya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Waktu telah lama berlalu sejak kedatangannya ke sekolah pukul setengah tujuh tadi pagi. Namun pemandangan di luar sama sekali tidak berubah.
Mendung. Kelabu. Suram.
Itulah yang tercetus pada benaknya.
Kemudian angin semilir berhembus. Menyelinap masuk melalui sela jendela yang sedikit terbuka. Remaja itu menikmati semilir angin itu pada wajahnya yang tampan. Membuatnya mengantuk oleh belaian lembut sang bayu yang memanjakan. Terasa lembab saat tercium. Seakan menjadi tanda, kalau hujan akan kembali turun.
Sore hari ini mengingatkannya pada hari itu. Saat ia masih menjadi siswa kelas satu di SMA Cahaya Persada. Suatu hari, kala hujan turun di awal November. Hari itulah Darren pertama kali bertemu dengannya. Seorang gadis cantik berkulit pucat dengan rambut lurus berwarna tembaga.
Gadis itu…
Krriiingg…
Bel berbunyi. Darren mengembuskan napas lega, karena telah selesai dari rutinitas dan kewajibannya sebagai pelajar.
“Aku memang anak pemalas.” Gumam Darren. Melamun sesaat. Kemudian tangannya bergerak malas, memasukkan peralatan belajarnya ke dalam ranselnya yang kusam.
“Darren, pulang bareng yuk.” Ajak Teddy.
Sahabat Darren itu adalah seorang anak tinggi kurus yang mengenakan kacamata berbingkai kotak. Matanya yang kecil dan panjang terlihat seperti garis saat sedang tertawa.
“Tumben ngajak bareng.” Sahut Darren seraya membuka jendela dan menyandarkan punggungnya. Tangannya di biarkan menggantung bebas ke luar jendela. “Hari ini nggak ada ekskul?”
“Tidak ada.” Keluh Teddy seraya duduk di atas meja. Sepatu canvasnya yang berwarna merah terlihat kotor oleh lumpur. Tidak mengherankan, karena lingkungan sekolah dan tempat tinggal di daerah pinggiran Jakarta itu memang dalam kondisi membangun. Truk tanah selalu lewat setiap jamnya. Meninggalkan segumpal tanah yang selalu jatuh ketanah. Kalau hujan turun, maka keesokan harinya, tanah beraspal pun akan di penuhi genangan berlumpur hingga satu atau dua senti dalamnya. “Semua ingin buru-buru pulang karena takut kehujanan.”
“Mereka pasti kehujanan.” Sahut Darren saat merasakan tangannya basah oleh rintik hujan yang baru turun.
“Hujannya pasti lama.” Teddy bangkit dari duduknya dan berjalan kepinggir, dekat jendela. “Apa kau bawa payung?”
“Nggak 'lah, aku tidak mau ditertawakan.” Darren geli sendiri. “Anak-anak sini ‘kan aneh. Jika ada yang bawa payung pasti diledek.”
“Maklum, namanya juga sekolah swasta buang-buangan.”
“Ngehinanya parah banget.”
“Memang itu kenyataannya, mau bagaimana lagi.” Teddy membalikkan tubuhnya dan berkata sambil memasukkan tangan ke kantong celana. “Anak yang ditolak di sekolah lain pasti diterima di sini.”
“Terus kenapa kau masuk sini? Kau ‘kan pintar?”
“Kata siapa aku pintar?” Teddy menggebuk bahu Darren gemas. “Aku tadinya ingin masuk ke Sheffield International School yang di ujung jalan itu. Sayangnya nggak di terima.”
“Namanya juga sekolah internasional.” Aku menutup mata saat mulai merasa kantuk datang. “Mereka dianggap elit karena muridnya pintar-pintar, padahal memang sejak awal mereka hanya mau menerima siswa yang pintar. Sekolah macam apa itu? Bukankah seharusnya mereka mendidik kita dari buruk menjadi baik?
“Jangan menghina sekolah pacarmu sampai segitunya. Kamu tuh harus…”
“Kenapa kau harus menyinggungnya terus, sih!?” Omel Darren seraya merebahkan kepalanya di atas meja kayu yang keras dan dingin. “Muak aku mendengarnya!”
“Kau bohong, Darren.”
“Bohong apa!?”