“Darren, kau dengar tidak?” Saat melihat orang yang ditanya malah termenung, Teddy melanjutkan ucapannya. “Hei, kau kenapa sih?”
“Nggak apa-apa.” Darren mendesah. “Kau benar-benar ingin tahu sebabnya?”
Teddy mengangguk.
“Karena aku orang jahat.” Darren tertawa gelisah. “Alasan aku memintanya menjadi pacar, karena dia cantik, orang Inggris berkelas. Bersekolah di sekolah internasional yang elit. Aku berpikir, pasti senang rasanya punya pacar seperti dia. Aku hanya orang biasa. Aku tidak pernah berpikir akan kenal gadis seperti dia. Tidak hanya cantik, namun juga pintar dan berbakat. Aku bisa pamer pada teman-teman di rumah atau di sekolah. Tapi ternyata aku salah. Rosalynn gadis yang rumit. Pemikirannya begitu dewasa sehingga sulit aku pahami. Aku memang bahagia bersamanya. Tapi kebersamaan kami lebih sering penuh keseriusan. Di balik senyum dan tawanya, dia begitu sensitif, mudah terluka. Dengan kata lain, lama kelamaan aku menilai kebersamaan kami tidak begitu menyenangkan. Untuk apa berpacaran kalau hanya membuat aku tidak bahagia. Maka aku mengambil keputusan egois. Aku meninggalkannya. Tapi aku ….”
“Darren, kau sadar tidak?” Teddy memotong ucapan Darren. Mengguncang lengannya, agar sahabatnya itu berhenti berkata-kata. “Air matamu keluar. Apa yang terjadi, sih? Memang saat ini Rosalyn sudah tidak tinggal di sini, tapi kau ‘kan masih bisa mengirim email atau meneleponnya. Kau bisa minta maaf. Siapa tahu, kau jadi lega.”
“Tidak bisa.” Darren menghapus air mata dengan punggung tangannya. “Sekarang sudah terlambat. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.”
“Tapi kenapa?” Tanya Teddy gemas.
“Karena dia sudah tiada.” Seru Darren sebelum melanjutkan ucapannya dengan suara jauh lebih lirih. “Tidak seharusnya dia meninggal secepat itu. Aku yang salah. Aku yang menyebabkan dia …, eh …, maaf ....”
Setelah mengatakan itu semua, Darren lari meninggalkan halte. Tidak peduli walau hujan masih turun dengan deras. Darren ingin sendirian. Darren ingin melupakan apa yang baru saja diingatnya. Mungkin dengan begitu, rasa sakit di dadanya akan sedikit berkurang.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat smartphone Darren berbunyi.
“Teddy, ada apa?” Sahut Darren sambil mencari posisi nyaman di tempat tidur. “Tumben telepon.”
“Aku hanya ingin minta maaf soal yang tadi?”
“Soal yang mana?” Mata Darren menatap nanar langit-langit kamarnya yang begitu putih, polos, tanpa noda atau sarang laba-laba di sudut. Dengan kata lain, membosankan.
“Yang tadi, Darren.” Teddy mendesah. “Seharusnya aku tidak sok tahu, karena aku…”
“Nggak apa-apa, kok.”
“Yang benar?”
“Iya, aku saja yang tadi terlalu sensitif. Jangan dipikirkan lagi, oke.”
Teddy terdiam. Entah bagaimana hal itu sulit dipercaya olehnya.
Apa iya emosi seseorang bisa berubah dan pulih secepat itu?
Remaja bermata sipit itu baru saja hendak meneruskan ucapannya saat Darren secara tiba-tiba berkata, “Sudah dulu, ya. Aku ngantuk banget.”
“Oke. Nggak seharusnya aku nelpon selarut ini di malam sekolah.”
“Nggak apa-apa.”
“Besok sepulang sekolah mau nonton, nggak?”
“Nonton apa?”
“Nggak tahu. Nanti aku periksa kalau ada yang bagus.”
“Atur saja, oke. Sampai besok.” Darren mematikan telepon. Menggeletakkan smartphone-nya begitu saja di sisi tempat tidur. Memejamkan matanya yang terasa sakit dan berdenyut.
“Seharusnya aku tidak hujan-hujanan.” Keluh Darren saat menyadari dirinya sakit.
Matanya terasa panas dan berair.
Darren bangun dari tempat tidurnnya, membuka laci dan mengambil paracetamol yang tersisa dua butir dalam kapletnya. Ditelannya sebutir. Saat mengambil botol air yang selalu tersedia di atas meja belajarnya, Darren tertegun. Matanya menatap ke dalam isi lacinya yang terbuka. Di dalam terlihat sebuah sketsa yang digambar dengan menggunakan pensil EB. Sketsa itu memperlihatkan dirinya tengah berdansa dengan seorang gadis yang menggunakan gaun pesta yang panjangnya hingga menyentuh lantai. Gadis itu adalah Rosalynn.
Peristiwa dalam sketsa itu tidak pernah benar-benar terjadi. Itu hanya khayalan Rosalynn, sang pembuat sketsa.
“Rosalynn…” Gumam Darren.
Tangannya mengambil sketsa. Memandang wajah Rosalynn lekat-lekat. Tidak terasa matanya kembali berair dan…
Tut…tut…tut…
“Siapa sih yang ngirim DM malam-malam begini…” Darren mengambil smartphone-nya dengan segan.
Hai, Darren. Bagaimana kabarmu?
Darren mengerutkan kening. Belum sempat ia berpikir lebih jauh, pesan baru kembali masuk.
Apa kau ingin kesempatan kedua untuk kembali bersamanya? Apa kau ingin menyelamatkan Rosalynn? Mencegahnya melakukan hal yang dilakukannya setahun yang lalu?
“Ini orang siapa, sih? Gaya bahasanya mirip sales.” Darren mendecakkan lidahnya. Memutuskan untuk tidak memedulikan pesan itu.
Baru saja tangannya hendak menaruh smartphone ke atas meja belajar, pesan kembali masuk. Penasaran, Darren kembali membaca pesan yang masuk.
Aku tidak memaksamu melakukan hal yang tidak kau inginkan. Tapi, kalau kau memang mencintai Rosalynn dengan tulus, balas pesanku saat ini juga.