Kisah di Akhir November

Roy Rolland
Chapter #6

Bagian Kedua: 01 - Pertemuan Pertama di Awal September.

"He felt now that he was not simply close to her, but that he did not know where he ended and she began."

Leo Tolstoy (Anna Karenina)

Pagi itu di awal September, menjelang pukul lima dini hari, seorang gadis berambut warna tembaga telah bangun dari peraduannya. Gadis itu mengambil mantel tipis yang terbuat dari satin. Berjalan ke balkon kamarnya yang terletak di lantai dua.

Balkon itu menghadap ke timur. Memperlihatkan cahaya neon cemerlang kota Jakarta yang berjarak beberapa belas kilometer dari rumahnya di Swargakarta. Swargakarta adalah kawasan terpadu baru, yang dibangun dengan konsep kota taman yang asri.

Tinggal di sini sangat nyaman, cetus gadis itu dalam pikirannya. Udaranya segar, segalanya terasa dekat dengan alam, namun tidak terlalu jauh dari pusat kota.

Kemudian semilir angin pagi berhembus. Memainkan rambut panjang si gadis. Memanjakan wajah dengan belaian kasih sayang. Bibir mungilnya yang merah alami mulai menyenandungkan irama riang. Irama itu enak terdengar, walau hanya terpikir secara spontan kala itu juga. Gadis itu memang berbakat seni. Dia sangat menyukai keindahan dan kebahagiaan. Bahkan tidak salah bila dikatakan ia begitu terobesi untuk memerolehnya. Gadis itu bersikap demikian, karena dalam hatinya ia haus untuk merasakannya.

Hal itu disembunyikan dengan senyuman, sikap riang dan tawa lepas yang memikat. Namun, kala tengah sendirian, gadis itu tidak lagi bersembunyi di balik topengnya. Dia begitu bersedih, kadang kala menangis, karena ia tidak menyukai kenyataan hidupnya. Dia merasa hidupnya bagaikan malam. Begitu kelam, sepi, sendu dan tidak abadi, karena matahari selalu memancarkan sinarnya di penghujung waktu.

Gadis menghentikan lamunannya. Dia sadar, hari baru telah datang. Matahari mulai memperlihatkan kecemerlangannya di ufuk timur. Menyingkirkan kelam, membawa kehangatan dan harapan pada dunia yang kembali mendambakan cahaya. Gadis itu mengangkat kepala. Menatap keindahan perpaduan warna cemerlang. Namun, dengan tatapan hampa.

Untung saja hanya sesaat. Kala kehangatan merayap di kulit wajahnya, bibir mungil yang warnanya yang kontras dengan kulitnya yang pucat, menyunggingkan senyuman.

One touch of nature make the world kin ….” Gumamnya riang yang dilanjutkan dengan emosi sendu. “Tapi dengan siapa aku berbagi …?”

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Miss Rosalynn, apa kau sudah bangun?” Tanya seorang wanita. Suaranya sedikit serak dan memberi kesan keibuan. “Sekarang sudah pukul enam. Bersiaplah berangkat ke sekolah.”

“Iya, Bu Hubbard.” Rosalynn Ellis beranjak dari tempatnya dan membuka pintu. “Ibu tidak perlu membangunkanku setiap pagi. Aku sudah bisa bangun sendiri.”

“Kebiasaan lama sulit dihilangkan.” Komentar Ibu Hubbard sambil tersenyum. “Aku sudah biasa membangunkan Miss sejak kecil.”

“Aku sudah bukan siswi Taman Kanak-kanak lagi.” Rosalynn merajuk. “Sekarang aku sudah SMA.”

“Di mataku Miss Rosalynn tetap gadis kecilku.” Ibu Hubbard membelai pipi Rosalynn yang halus. “Tolong jangan memintaku berubah. Aku akan sangat sedih.”

“Terima kasih, Bu Hubbard.” Rosalynn berbisik. Terlihat sekali kalau gadis cantik sangat menikmati belaian kasih sayang Ibu Hubbard. Bibirnya lagi-lagi tersenyum. “Aku akan bersalin sekarang.”

“Bagaimana sekolah Anda, Miss? Apa Anda sudah punya teman?”

“Hm, beberapa ….” Rosalynn mengangguk antusias. “Teman-teman sekelasku sangat ramah dan baik padaku. Pengalaman baru bersekolah di sekolah internasional. Kita bisa mendapat banyak teman dari berbagai negara dengan tingkah laku dan budayanya yang berbeda.”

“Senang hatiku mendengarnya.” Ibu Hubbard mengembuskan napas lega. “Semalam Anda tidak lupa mandi, ‘kan?”

“Tentu saja tidak. Aku akan langsung pakai seragam sekarang.”

“Bagus. Pagi ini Anda ingin sarapan apa?”

“Hm, yang biasa.”

“Susis dan telur rebus?”

“Aku sedang ingin telur dadar. Tolong buatkan dua yang digoreng dengan mentega.”

“Aku akan segera menyiapkannya.”

“Terima kasih, Bu Hubbard.” Seru Rosalynn seraya mengantar kepergian pengasuhnya itu hilang dari pandangannya.

Rosalynn kembali masuk dan menutup pintu kamar.

“Aku benci sekolah!” Ekspresi riangnya langsung berubah jadi muram. “Apa gunanya sekolah? Apa gunanya berteman? Bukankah aku juga tetap akan ….”

Rosalynn meremas dadanya yang terasa tidak enak.

“Haruskah aku kembali menghadapi mereka?” Keluh Rosalynn. “Aku benci Jeanette dan gerombolannya. Mereka selalu menggodaku, menjahiliku dan membuatku jadi bahan tertawaan di sekolah. Aku …, aku ….”

Lihat selengkapnya