Selama beberapa saat, Rosalynn hanya memandang tangan Darren yang terulur ke arahnya.
“Kenapa kau ingin mengenalku?” Tanya Rosalynn dengan mata masih terarah pada tangan Darren. Sebelum Darren sempat menjawab Rosalynn melanjutkan ucapannya, “hati-hati dengan jawabanmu.” Rosalynn mengalihkan pandangannya dan menatap Darren dengan matanya yang biru. “Salah menjawab akan memperngaruhi penilaianku terhadap dirimu, Darren Aranatta. Aku ulangi pertanyaanku, jawablah dengan jujur. Kenapa kau ingin mengenalku? Apa sih yang kau cari?”
“Kenapa kau harus memikirkan segalanya dengan sulit.” Darren menarik tangannya dan mengembuskan napas panjang. “Aku ingin mengenalmu karena aku ingin berteman denganmu.”
“Kenapa kau ingin berteman denganku?”
“Kau aneh sekali.” Darren tertawa. “Aku bukanlah tipe orang yang hanya ingin berteman dengan orang yang menguntungkan bagiku. Saat melihatmu, kau menarik perhatianku. Aku pun ingin mengenalmu lebih jauh. Hanya itu.”
“Tidak bisakah kau mengarang alasan lebih baik dari itu?”
“Kenapa aku harus mengemukakan alasan? Apa yang ingin kau dengar?”
“Hujan sudah berhenti.” Tanpa memedulikan ucapan Darren, Rosalynn bangkit dari duduknya. “Aku harus kembali ke sekolah. Maafkan aku.”
Rosalynn berjalan menjauhi Darren. Gadis itu bahkan tidak melirik ke arahnya. Darren mendesah dan menggelengkan kepalanya dengan kecewa.
“Kenapa alasanku begitu penting bagimu?” Seru Darren. “Alasan itu mudah diucapkan, tapi teman yang setia sulit ditemukan.”
Mendengar ucapan Darren, Rosalynn menghentikan langkahnya. “Bukan alasan.”
“Apa?”
“Terjemahannya adalah kata-kata. Quote yang kau ucapkan juga tidak tepat.” Rosalynn membalikkan tubuhnya. Menghadap Darren dan memandangnya lekat-lekat di kedua matanya. “Words are easy, like the wind; Faithful friends are hard to find. Itukan yang ingin kau katakan?”
“Iya. maksudku memang itu.”
“Apa kau menyukai karya-karya Shakespeare?” Rosalynn berjalan mendekat. Mata birunya yang semula suram mulai berbinar. “Kau pernah baca The Passionate Pilgrim, iyakan?”
Mulut Darren terbuka. Dari gerak bibirnya, jelas sekali remaja itu ingin mengatakan iya. Pada akhirnya, Darren mendesah dan menggelengkan kepala.
“Maaf, aku tidak pernah membaca satu pun karya Shakespeare. Aku hanya pernah mendengarnya dari seseorang yang penting bagiku.” Darren membasahi bibirnya yang kering. “Beberapa detik yang lalu aku ingin mengatakan iya, agar kau terkesan. Tapi aku sadar tidak seharusnya aku memulai pertemanan dari kebohongan. Sekali lagi, maafkan aku.”
Mendengar itu, Rosalynn mendesah. kecewa. Gadis itu pun diam. berpikir lama, sebelum kembali menatap Darren.
“Aku hargai kejujuranmu.” Rosalynn mengeluarkan smartphone-nya.
Tanpa izin, gadis itu memoto Darren.
“Hei,” protes Darren. “kasih peringatan dulu, dong.”
“Nomor telepon dan email.”
“Apa?”
“Hhhh …,” Rosalynn mendesah keras. “tolong beri tahu aku nomor telepon dan emailmu. Boleh tidak!?”
"Maaf. Tentu saja boleh." Darren langsung memberitahu Rosalynn.
Rosalynn langsung mengetik nomor telepon dan email Darren. Langsung menyimpannya di phonebook.
“Sampai nanti, Darren.” Ujar Rosalynn dengan ekspresi wajah hambar.
“Hei, tunggu dulu.” Cegah Darren. “Kau belum memberitahuku.”
“Beritahu apa?” Rosalynn mengertutkan keningnya.
“Email dan nomor teleponmu. Bahkan, kau juga belum memperkenalkan dirimu.”
“Akan kupikirkan dulu.” Jawab Rosalynn. “Setelah aku yakin kau orang baik dan bukan orang aneh, aku pasti akan memberitahumu.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Rahasia ….” Rosalynn mengedipkan sebelah matanya. "Kalau mulai besok, kau rajin bangun pagi dan tidak telat datang ke sekolah, itu akan sangat membantuku dalam menilaimu."
Gadis berkebangsaan Inggris itu berbalik menuju ke sekolahnya, namun baru beberapa langkah, Rosalynn kembali membalikkan tubuhnya. Tersenyum lebar.
“Jangan kecewa begitu.” Gadis itu menutup mulut mungilnya saat tertawa dengan kepalan tangan. “Namaku Rosalynn Ellis. Senang mengenalmu, Darren.”
Rosalynn memberi hormat formal dengan menekuk kedua lutut, dimana kaki kanan ditempatkan di belakang kaki kiri.
Melihat itu, Darren melongo. Beberapa saat kemudian remaja itu tertawa lepas.
“Hei, kenapa?” Tanya Rosalynn dengan wajah merah padam karena emosi. “Apa ada yang lucu?”