“Maafkan aku,” Rosalynn menegakkan posisi tubuhnya. Menjauh dari Darren. “seharusnya aku tidak bertanya.”
“Tidak apa-apa …,” Darren memaksakan dirinya tertawa. “bagiku itu sudah lama berlalu.”
“Bagimu?” Rosalynn mengerutkan keningnya. “Pilihan kata yang kau gunakan aneh.”
“Jangan terlalu memikirkannya.” Darren menggelengkan kepalanya. “Tolong ….”
Keduanya lalu terdiam. Rupanya pembicaraan tadi, telah menimbulkan rasa canggung di antara mereka.
“Kita hampir tiba, Miss.” Winston berkata memecah kesunyian. “Perlu saya menurunkan Anda di lobby utama.”
“Tolong ya, Winston.” Jawab Rosalynn sebelum mengalihkan pandangannya pada Darren. “Kau sering ke sini?”
“Sangat sering.”
“Toko buku apa yang biasa kau datangi?” Rosalynn hanya mengangguk saat Darren memberitahunya. “Kita tidak ke toko itu sore ini.”
“Kenapa?”
“Aku lebih suka ke toko buku yang di basement.”
“Maksudmu toko buku kecil yang terletak di pojokan itu?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Pertanyaanmu lucu.” Rosalynn tertawa geli sekali.
“Apa lucunya.”
“Tidak ..., hanya saja aku kurang suka membaca sesuatu yang terlalu nge-pop.”
Darren baru saja ingin bertanya lebih jauh saat Winston menghentikan mobilnya dan berkata, “kita sudah tiba, Miss.”
“Terima kasih, Winston.” Tiba-tiba Rosalynn seakan teringat sesuatu. “Kau tidak perlu turun untuk membukakan pintu untukku.”
“Baik, Miss.”
“Ayo Darren,” ajak Rosalynn sambil membuka pintu mobil. “akan kutunjukkan kenapa aku lebih menyukai toko buku itu.”
Dari cara jalan Rosalynn, Darren mengambil kesimpulan kalau saat ini gadis itu sangat riang. Namun itu hanya sesaat. Saat baru saja turun escalator ke basement, Rosalynn menarik tangan Darren dan mengajaknya bersembunyi di balik sebuah kios.
Tidak memakan waktu lama bagi Darren untuk tahu, apa yang menyebabkan Rosalynn bersikap seperti itu. Mata Darren terarah pada empat orang siswi berkewarganegaraan asing yang mengenakan seragam Sheffield International Highschool. Keempatnya berwajah cantik dengan tubuh tinggi semampai bagai seorang model.
Darren bisa saja bertanya pada Rosalynn, siapa ketiga gadis itu dan kenapa ia menghindar dari mereka. Namun ia memilih untuk diam dan berlagak tidak tahu. Hanya matanya terarah pada wajah Rosalynn yang tegang. Bahkan Darren yakin bahwa gadis itu tengah menahan napasnya. Ketika keempat siswi berseragam Sheffield International Highschool itu melewati mereka dan naik escalator, Rosalynn mengembuskan napas lega.
“Ayo, Darren.” Ajak Rosalynn sambil mengelap telapak tangan ke rok seragamnya.
Gerakan itu sambil lalu dan hanya memakan waktu beberapa detik. Namun Darren menyadarinya dan memilih kembali bersikap seolah tidak tahu.
“Darren ….” Tiba-tiba Rosalynn berkata.
“Iya ….”
“Sebenarnya kau tahu kenapa aku bersembunyi di balik kios itu, ‘kan?” Rosalynn berhenti melangkah.
“Entahlah …, sepertinya tidak.” Darren menggantung tangan kanannya di tali tas ransel. “Kenapa?”
“Kenapa kau berbohong? Kenapa kau bersikap seolah tidak tahu?” Rosalynn mengalihkan tatapannya dari Darren. “Sebenarnya apa yang kau pikirkan?”
“Aku tidak memikirkan apa-apa.”
“Aku sudah mengatakan jangan membohongiku.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Aku merasakannya Darren. Aku bisa tahu dari sikapmu. Kau merasa iba padaku dan aku tidak suka itu.” Rosalynn kembali melangkah.
“Tunggu, kau salah paham.” Tangan Darren menggenggam tangan Rosalynn. Darren merasakan telapak tangan gadis itu basah oleh keringat. “Aku hanya berpikir, kalau kau sudah menganggap kita sebagai teman, suatu saat nanti kau pasti akan menceritakannya padaku.”
“Apa?”
“Bukankah itu yang dilakukan teman? Saling berbagi. Dengan demikian beban yang terasa di dada menjadi ringan.”