“Kenapa Anda menanyakan itu, Miss?” Ibu Hubbard memandang wajah Rosalynn dengan raut wajah prihatin. “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Bukan. Maksudku bukan itu. Sama sekali tidak terjadi apa-apa. hanya saja ...,” Rosalynn mengembuskan napas panjang. “aku bertemu dengan seseorang ….”
“Apa dia lelaki yang kau yang selalu kau gambar?”
“Iya.” Rosalynn menganggukkan kepalanya. “Pada suatu hari, secara tiba-tiba dia menengurku dan mengatakan ingin mengenalku.”
“Menurut Ibu itu sangat bagus.”
“Tapi aku takut ….”
“Takut? Ada apa, Miss? Apa dia mengucapkan kata-kata yang kasar?”
“Dia sangat sopan.” Rosalynn duduk di atas tempat tidur dan memeluk erat boneka gajah yang diperolehnya sebagai hadiah ulang tahun beberapa tahun yang lalu. “Masalahnya adalah aku. Aku takut untuk berteman dengannya.”
“Kenapa?”
“Bagaimana kalau pada akhirnya dia tahu kalau aku menderita penyakit...” Rosalynn tidak meneruskan ucapannya.
“Apa masalahnya kalau dia tahu?”
“Memalukan.” Rosalynn berbisik. “Penyakit ini membuatku jadi kikuk dan bodoh. Aku sering tersandung. Aku bahkan tidak bisa berjalan lurus sambil memejamkan mata. Penyakit ini pula yang membuatku terpaksa berhenti berlatih balet. Aku tahu selama aku menderita penyakit ini, percuma saja aku belajar balet. Aku tidak akan pernah mahir. Intinya, penyakit ini menyebabkan aku tidak terlihat anggun.”
“Apa kau ingin lelaki itu menilaimu sebagai wanita yang anggun?”
“Perempuan mana yang tidak senang dinilai seperti itu.” Rosalynn menyembunyikan wajahnya tepat di bawah belalai si boneka gajah. “Bagaimana kalau suatu saat nanti dia menilaiku tidak cukup baik untuk menjadi temannya. Lalu dia meninggalkanku seperti ….”
Rosalynn tiba-tiba terdiam.
“Seperti apa?” Ibu Hubbard duduk di sebelah Rosalynn dan meletakkan tangannya di atas tangan anak asuhnya. “Seperti teman-teman sekolahmu?”
Mendengar itu, Rosalynn mengangkat wajahnya dari boneka gajah. Mata dan pipinya terlihat basah oleh air mata. “B-bagaimana ibu bisa…?”
“Tentu saja aku tahu, sayang.” Jawab Ibu Hubbard. “Aku sudah mengasuhmu dari kecil. Aku sangat mengenalmu. Kau pikir aku tidak bisa menilainya dari sikapmu yang malas datang ke sekolah? Nilai-nilaimu yang menurun. Tidak pernah ada teman yang datang untuk main atau menginap di rumah. Bahkan menjengukmu di kala kau sakit. Kau juga malas mengikuti ekstrakurikuler dan selalu langsung pulang setelah jam sekolah berakhir. Aku mencemaskanmu, Miss. Tapi aku tidak berdaya apa-apa untuk membantumu.”
Ibu Hubbard mengambil salah satu sketsa yang dibuat Rosalynn.
“Dia lelaki yang tampan.” Komentarnya. “Apa dia orang lokal.”
Rosalynn mengangguk.
“Boleh Ibu tahu siapa namanya?”
“Darren Aranatta.”
“Apa dia bersikap kurang sopan terhadapmu?” Dengan hati-hati Ibu Hubbard kembali bertanya.
“Dia sangat sopan.” Jawab Rosalynn pendek.
“Apa maslahnya mungkin kau sama sekali tidak ingin mengenalnya?” Setelah berbasa-basi sekian lama, Ibu Hubbard menanyakan pertanyaan yang sebenarnya.
“Aku ingin mengenalnya lebih jauh.” Rosalynn merebahkan dirinya. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang penuh ukiran. “Aku berusaha menggambarnya agar bisa menilai kepribadiannya. Tapi setiap kali aku menatapnya dan menggores karakter dirinya di atas kertas, aku seakan bisa melihat banyak hal di balik tatapan matanya.”
“Ibu bisa melihatnya.” Tangan Ibu Hubbard menyentuh gambar mata Darren. “Apa Anda ingin tahu apa pendapat Ibu, Miss?”
“Apa?”
“Cobalah berteman dengannya. Siapa tahu dia akan menjadi teman terbaik yang pernah Anda punya.” Ucap Ibu Hubbard bijak. “Kalau pun ternyata dia bukan orang yang baik, setidaknya Anda telah kenal pribadi dia yang sebenarnya. Ibu hanya tidak ingin Anda ragu dan selalu bertanya-tanya dalam hati. Dia tidak mungkin selamanya menunggu Anda, Miss. Entah apa jadinya kalau dia lelah menunggu Anda untuk menerimanya sebagai teman. Ibu tidak ingin Anda menyesal.”
“Tapi penyakitku ….”
“Satu-satunya cara Anda untuk tahu reaksinya adalah dengan bertanya langsung pada orangnya.” Lanjut ibu Hubbard. “Ibu tidak bilang harus sekarang. Katakanlah nanti, kala kau sudah siap untuk terbuka dengannya.”
“Aku mengerti.” Rosalynn memeluk pengasuhnya dengan erat. “Terima kasih, Ibu Hubbard. Terima kasih karena selalu ada untukku.”