“Menjadi pacarmu?” Ulang Darren. Remaja itu terdiam karena situasi ini sama sekali tidak terduga olehnya. “Kenapa secara tiba-tiba kau ingin kita berpacaran?”
“Umurku tidak akan lama lagi, Darren.” Jawab Rosalynn. “Sebelum aku mati, aku ingin tahu bagaimana rasanya mempunyai seseorang yang benar-benar mencintaiku.”
"Itu tidak masuk di akal." Darren mendesah. “Apa bahkan kau menyukaiku?”
“Aku sangat menyukaimu.” Jawab Rosalynn cepat dan tegas.
“Sahabat dan pacar adalah dua hal yang berbeda.” Darren mengangkat tangannya.
“Kenapa? Apa salah kalau sahabat dan pacar adalah orang yang sama?”
Mulut Darren terbuka. Dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi saat Rosalynn mengemukakan alasannya, remaja itu tidak tahu harus menjawab apa.
“Apa kau tidak mau?” Rosalynn berkata lirih. "Apa aku bukan seleramu?"
“Bolehkah aku memikirkannya dulu?”
“Tidak boleh.” Rosalynn menggelengkan kepalanya. "Kau harus menjawabnya sekarang juga."
“Tapi kenapa?”
“Cinta tidak akan menunggu siapa pun. Cinta adalah sesuatu yang spontan. Bila memang ada, cinta sudah tertanam dalam hati saat kita meluangkan waktu bersama.” Rosalynn menjelaskan sambil menatap Darren lekat-lekat di matanya. “Bila kau minta waktu untuk berpikir, apakah kau mencintaiku atau tidak, maka kau akan memasukkan pemikiran dan logika di dalamnya. Ujung-ujungnya kau hanya memikirkan untung dan rugi kalau berpacaran denganku. Dengan demikian aku tidak akan pernah percaya, kalau kau benar-benar mencintaiku.”
Darren mengerang. Remaja itu kemudian berkata lirih.
“Apa akan ada perbedaan di antara kita kalau kita berpacaran?” Tanya Darren.
“Tidak ada yang berubah.” Rosalynn menggelengkan kepala. Tersenyum lemah. “Selain komitmen kalau kau milikku dan aku milikmu.”
Darren menghembuskan napas panjang dan melihat ke atas. Langit malam yang gelap tanpa ada bintang dan rembulan.
“Hm …, baiklah. Kita pacaran.”
Rosalynn mendesah dan menggelengkan kepala. “Lupakan saja.”
“Kenapa?”
“Kau mendesah dan kau mengatakannya dengan ragu. Mana mungkin kau mengharapkan aku percaya padamu.”
“Itu tidak benar.”
“Tapi kenyataannya seperti itu. Kau bahkan tidak terdengar yakin dengan ucapanmu sendiri.”
“Kalau begitu aku yang akan bertanya.” Darren meremas tangan kanan Rosalynn dengan kedua belah tangannya. Kemudian berkata dengan suara tegas dan penuh keyakinan. “Rosalynn, aku menyukaimu. Apa kau mau jadi pacarku?”
Mendengar itu, Rosalynn tertegun. Mulutnya terbuka. Gadis itu seakan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Kemudian senyumnya merekah, disertai dengan anggukan kepala antusias.
“Aku mau …, aku mau …, aku mau …!” Jawabnya riang. Refleks gadis itu memeluk Darren dengan erat. “Aku mencintaimu, Darren.”
“Aku juga.” Darren menahan napas. Secara tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku. “Rosalynn tolong lepaskan aku. Jujur saja aku merasa canggung.”
“Oh, maaf.” Rosalynn terlihat grogi. “Aku tidak bisa menahannya.”
“Tidak apa-apa.” Jawab Darren. “Jadi sekarang bagaimana?”
“Maksudmu?”
“Kita sudah pacaran sekarang. Selanjutnya bagaimana?”
“Hm, aku sudah mengatakan agar kita bersikap seperti biasa, kau ingat.”
“Perlukah kita jalan-jalan sambil cari jajanan?” Tanya Darren seraya melirik ke arah tukang jagung bakar yang mangkal di dekat anak-anak remaja yang tengah belajar mengendarai skateboard.
Rosalynn baru saja akan menjawab kala smartphone-nya secara tiba-tiba berbunyi.
“Ternyata kakakku.” Gumam Rosalynn sebelum mengalihkan pandangannya pada Darren. “Tunggu sebentar, ya.”
Rosalynn bangkit dari duduknya dan berbicara di telepon dengan bahasa Inggris. Suaranya pelan sehingga Darren hanya mampu beberapa kata yang terdengar tidak masuk di akal saat di satukan menjadi satu kalimat yang utuh.
Satu-dua menit kemudian, Rosalynn selesai bicara dan kembali berjalan mendekati Darren.
“Tadi kakakku.” Ujarnya. “Dia datang mengunjungiku dan saat ini tengah menunggu di rumah.”
“Kau harus segera menemuinya.” Tandasku. “Maksudku, kalian sudah lama tidak bertemu. Pasti banyak yang ingin kalian bicarakan.”
“Kau benar.” Rosalynn mengangguk. “Ayo kita pergi.”
“Kita?” Darren mengerutkan keningnya. “T-tapi kenapa?”
“Saat aku menceritakan pada kakakku kalau aku sudah punya pacar, dia mengatakan ingin bertemu denganmu.”
“Wow, jujur aku sama sekali tidak siap.” Darren langsung bergumam pada dirinya sendiri. “Apa aku telah mengubah masa lalu. Aku tidak ingat kalau waktu itu kakaknya pernah datang berkunjung. Apa yang terjadi? Ini semakin tidak terkendali. Hal kecil apa yang telah aku lakukan?”
“Darren?” Rosalynn mengerutkan keningnya. “Kenapa kau gelisah? Apa pula yang kau gumamkan? A[a kau gugup karena akan bertemu dengan kakakku?”
“T-tidak gugup, kok.” Kelit Darren. “Kenapa kau pikir begitu? Omong-omong, siapa nama kakakmu?”
“Namanya Malcolm. Dia ….”