Kisah di Akhir November

Roy Rolland
Chapter #15

Bagian Kedua: 10 - Aku Tidak Mau Pulang ke London.

“Tidak, aku tidak mau pulang!” Rosalynn menggebrak meja dan bangkit dari duduknya. "Kau tidak berhak memaksaku!"

Saat ini, ia dan kakaknya Malcolm tengah makan malam. Malcolm mengungkapkan keinginan orang tua mereka agar Rosalynn kembali ke London agar bisa mendapat fasilitas kesehatan dan pendidikan lebih baik. Namun, reaksi Rosalynn jauh berbeda dari yang mereka perkirakan.

“Aku baik-baik saja di sini.” Tegas Rosalynn. “Obat-obat yang kuminum sangat membantuku. Lagipula aku suka di sini. Lebih baik aku mati di sini daripada tinggal di London yang ….”

“Cukup Rosalynn!” Bentak Malcolm. “Kau dulu tidak seperti ini. Kau dulu anak yang penurut. Kenapa kau berubah? Kau bahkan tidak punya teman di sini. Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau terasing di sekolah? Kau bahkan sering diganggu oleh anak-anak Prancis itu? Jadi apa yang kau beratkan? Apa alasannya hanya karena laki-laki itu? Apa dia yang ….”

“Tolong jangan bawa-bawa Darren dalam persoalan ini.” Desis Rosalynn dengan tajam. “Kalau kau menanyakan apa hal yang membuat hidupku jadi menyenangkan, jawabannya memang selalu Darren. Aku tidak lagi sendirian. Aku ada teman berbicara. Setiap hari ada hal yang aku tunggu. AKu senang pergi bersamanya. Aku tidak kesepian. Aku bisa menikmati masa muda yang sudah selayaknya aku jalani. Entah pergi ke toko buku, mall, festival atau hanya mengobrolkan persoalan sehari-hari di halaman belakang. Dia adalah satu-satunya orang yang membuatku kembali teringat seperti apa rasanya sebelum aku menderita penyakit sial ini.”

Air mata Rosalynn mulai mengalir dan gadis itu pun melanjutkan ucapannya dengan nada suara jauh lebih lirih. Memohon, agar kakaknya mau mengerti apa yang ia inginkan.

“Tolong jangan mengajakku pulang.” Ujar Rosalynn sebelum menghapus air matanya. “Kalau aku pulang, kalian pasti hanya akan memasukkanku ke klinik rehabilitasi di Surrey. Aku tidak bisa bebas keluar, dan hanya bergaul dengan suster dan perawat. Aku tidak akan berjumpa lagi dengan Darren. Tolong, jangan pisahkan aku dari dia. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.”

Malcolm mendesah. Pindah tempat duduk ke sebelah adiknya sebelum berbicara.

“Rosalynn, kau tidak boleh egois.” Ujarnya lembut. “Kau harus memikirkan Darren. Pernahkah kau berpikir apa yang akan terjadi dengan dirinya saat waktumu telah tiba? Kau akan melukainya, Rosalynn. Coba pikirkan itu baik-baik. kalau kau memang sayang padanya, kau harus menyingkir sebelum kalian semakin akrab.”

Rosalynn tertawa, walau air matanya mengalir deras. 

“Lucu sekali ….” Rosalynn menggigit bibir bawahnya. “Kau bersikap seakan peduli. Kau datang ke sini memintaku pulang dengan alasan kau rindu dan ingin mendapatkan pengobatan terbaik untukku. Demi aku, ya? Jangan membuatku tertawa.”

Rosalynn mencoba menenangkan dirinya, walau itu sama sekali tidak berhasil.

“Tapi kenyataannya, kau akan memasukkan aku ke panti rehabilitasi yang sunyi di Surrey.” Sesaat Rosalynn tidak mampu melanjutkan ucapannya. Suaranya tercekik karena berusaha menahan isak tangis yang berontak ingin keluar. “Kau bahkan bersikap seolah peduli pada pacarku. Tapi kenyataannya tidak. Kau tidak peduli dengannya. Mana mungkin kau peduli pada dia, karena kau bahkan tidak peduli dengan adikmu sendiri. Kau bahkan sampai hati mengatakan sebentar lagi aku akan mati, dengan wajahmu yang selalu tawar dan datar itu. Aku hanya ingin bahagia sebelum aku tiada. Apa yang salah dari itu? Apakah omonganku ini salah? Aku adik kandungmu. Aku mohon, tolong buktikan kalau ucapanku ini salah. Buktikan kalau kau memang sayang padaku.”

Malcolm memandang adiknya sejenak, sebelum tertawa dan bangkit dari duduknya.

“Dasar anak-anak.” Gumamnya sambil menggelengkan kepala. “Dengar, besok aku beri kau waktu seharian untuk bicara dengannya. Tapi lusa, kau harus ikut pulang denganku ke London. Kami akan melakukan segala hal agar kau bisa hidup lebih lama. Hanya itu yang penting bagi kami. Kami lakukan ini untuk kebaikanmu sendiri. Kami sama sekali tidak peduli kalau kau akan membenci kami akhirnya. Kami melakukan semua ini, karena kami sayang padamu.”

Malcolm berjalan meninggalkan meja makan, walau pun ia sama sekali belum menyentuh makanannya.

“Lain kali, jangan lancang mengatakan kalau aku tidak pernah membantumu.” Tukas Malcolm sebelum keluar dan membanting pintu.

Sepeninggal kakaknya, Rosalynn mengambil smartphone-nya. Jemari tangannya bergerak, mencari nama Darren Aranatta untuk mengirim sebuah DM. Namun, belum sempat gadis itu mengetiknya. Rosalynn menjatuhkan smartphone-nya ke atas meja. Gadis berambut tembaga itu kembali menangis.

*****

Suatu hari, menjelang akhir November.

“Bulan Desember semakin dekat.” Gumam Darren seraya menatap langit biru luas membentang di atas kepalanya.

Semalam hujan turun semalaman. Membuat langit yang biasanya kelabu berawan menjadi biru bersih seakan baru dicuci. Walau cerah, namun cuaca tidak panas. Angin yang berhembus begitu dingin dan sejuk, kaya oleh uap air. Mungkin di tempat lain hujan dan semilir angin membawa kesejukannya ke kota ini, itulah yang dipikir Darren

“Aduh …!” Darren mengaduh kesakitan saat bola sepak menghantam kepalanya.

“Hei, jangan melamun bodoh!” Omel Teddy. “Kita sedang dalam pertandingan sepakbola. Lihat, tuh! Bolanya direbut.”

“Iya tahu! Nggak usah bawel deh.” Balas Darren setelah berhasil merebut bola dari lawan. “Cepat ajak Heru dan Rahman lari ke depan.”

“Depan mana?” Teddy mengerutkan kening.

“Depan gawang.” Komando Darren. “Kau dan Rahman mengawal, sementara Heru menjadi ujung tombak. Ayo cepat!” 

“Siap Kapten.” Seru ketiganya serempak.

Lihat selengkapnya