Kisah di Akhir November

Roy Rolland
Chapter #16

Bagian Kedua: 11 - Pergi ke Rumah Nenek.

“Aku akan membantumu setelah aku tahu apa yang kau maksud.” Tegas Darren. “Kau minta agar aku percaya padamu, maka aku minta kau untuk percaya padaku. Katakan padaku, apa yang kau rencanakan sebenarnya?”

Rosalynn membuka mulutnya, namun ia ragu untuk bersuara. Setelah diam lama dan berpikir, akhirnya gadis itu mengangguk.

“Kakakku ingin aku kembali ke London.” Ujar Rosalynn lirih. “Menurutnya, selama tinggal di sini, kondisiku hanya semakin memburuk. B-bagaimana menurutmu?”

“Apa kau mau pulang?” Tanya Darren.

“Aku tidak ingin kita berpisah.” Bisik Rosalynn. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Darren.”

“Aku tidak akan kemana-mana.” Tandas Darren. “Aku akan menunggumu di sini. Percayalah padaku. Aku tidak akan mengkhianatimu. Kita masih bisa saling DM atau telepon. Hubungan di antara kita tidak akan terputus.”

“Aku percaya itu, hanya saja ….” Rosalynn melanjutkan ucapannya dengan pahit. “Aku tidak yakin aku akan hidup selama itu.”

“Itu belum tentu ‘kan. Siapa tahu sebentar lagi ….”

Leukoencephalopathy belum ada obatnya, Darren!”

“Saat ini memang belum. Tapi aku yakin, dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan pasti ….”

“Tolong jangan katakan kebohongan padaku.” Potong Rosalynn sambil menggigit bibir bawahnya. “Leukoencephalopathy belum ada obatnya. Walau seandainya suatu saat nanti ditemukan, belum tentu aku masih hidup untuk mendapat pengobatan. Usiaku tidak akan lebih dari 25 tahun. Mungkin usiaku bahkan tidak sampai sebulan lagi. Tidak ada yang bisa memperkirakannya. Selama menunggu kematian, otakku akan mengalami kerusakan sedikit demi sedikit. Tidakkah kau sadar, Darren? Aku mungkin tidak bisa berdiri di sini bersamamu tahun depan. Tanganku akan segera tidak menuruti perintah otakku. Satu persatu tubuhku tidak akan lagi berfungsi dengan normal. Aku tidak akan mampu berjalan dan berbicara dengan baik. Itulah sebabnya, mumpung masih bisa, aku ingin merasakan hidup. Aku ingin mendapat kesempatan untuk meluangkan sisa waktuku ini denganmu. Hanya beberapa hari. Hanya itu yang kuminta darimu, Darren.”

“Tunggu dulu …,” Darren berusaha memahami apa yang diinginkan Rosalynn. “dengan kata lain, kau ingin aku membantumu melarikan diri selama satu-dua hari dan ….”

“Paling lama tiga hari.” Rosalynn meralat ucapan Darren sambil mengacungkan tiga buah jarinya. “Aku janji.”

Darren mengembuskan napas panjang seraya mengangguk.

“Aku ulangi. Kau ingin melarikan diri denganku selama tiga hari sebelum kau pulang ke London.” Darren berkata dengan nada ditekan. “Hanya itu, 'kan?”

“Iya.”

“Kalau memang hanya itu, kenapa kau tidak minta izin saja.”

“Apa kau pikir kakakku yang pesolek itu akan mengizinkannya?” Rosalynn balik bertanya.

“Memang tidak mungkin.” Desah Darren. “Benar hanya itu yang kau minta?”

“Aku janji.”

“Lalu kemana kita pergi?”

“Aku ingin kembali ke rumah nenekku.” Jawab Rosalynn. “Aku memiliki banyak kenangan indah di sana. Bahkan jauh sebelum penyakit ini menggerogoti tubuhku. Aku ingin membagi kenangan itu bersamamu, Darren.”

"Setelah itu, kita pulang?"

"Iya."

“Kau janji?”

“Aku janji.”

“Jam berapa kita bertemu di café?”

“Secepatnya.” Jawab Rosalynn. Gadis itu melanjutkan ucapannya dengan suara amat lirih. “Tapi kita harus berhati-hati. Saudaraku memerintahkan Winston untuk selalu mengikutiku. Tapi jangan khawatir. Aku sudah membuat rencana.”

Darren mendengarkan rencana yang dibuat Rosalynn baik-baik. Ia pun berjanji akan mendukung dan mengikuti rencana Rosalynn dengan sebaik-baiknya.

Hari ini, sekolah berakhir pukul tiga sore. Darren langsung pulang untuk mempersiapkan berbagai keperluan, seperti pakaian ganti dan uang.

“Hanya segini?” Darren mendesah saat melihat uangnya hanya tiga ratus ribu. "Nanti aku harus mampir ke ATM."

Darren memasukkan seluruh uangnya ke dompet sebelum turun ke bawah. Ayah-ibunya tengah duduk di ruang keluarga. Menonton TV sambil sesekali mengobrol. Darren menelan ludah sebelum masuk ke ruang keluarga dengan raut wajah dibuat sewajar mungkin.

“Aku pergi dulu.” Darren mencium tangan ayah-ibunya.

“Tasmu penuh sekali.” Komentar ayahnya dengan kening berkerut.

“Kemungkinan aku akan menginap.” Jawab Darren sekenanya. Dengan segera remaja itu keluar rumah agar tidak ditanya lebih lanjut.

“Selamat juga.” Darren mengembuskan napas lega. Matanya beralih ke arah skuter maticnya yang diparkir di pojok garasi. Sambil mendorong skuternya ke luar rumah, Darren terus menerus berdoa. “Semoga masih menyala. Semoga masih menyala. Semoga bisa menyala.”

Darren memejamkan mata sejenak sebelum menekan tombol starter.

“Tidak menyala ….” Gerutunya kesal. Darrren menginjak tuas engkol beberapa kali. Syukurlah akhirnya skuter matic tua bisa menyala.

“Kenapa kau tidak pakai motor yang baru?” Suara ayahnya hampir saja membuat jantung Darren copot. “Skuter itu pajaknya saja sudah telat tiga tahun.”

“Tidak apa-apa, yang penting masih bisa menyala.” Jawab Darren. “Aku merasa tidak nyaman parkir di luar kalau memakai motor semahal itu. Lagi pula ….”

“Kau tidak niat main ke tempat yang rawan, ‘kan?” Potong ayahnya curiga.

“Tidaklah Ayah.” Darren mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. “Aku janji.”

“Baiklah. Ayah percaya padamu. Awas saja kalau kau menyalahgunakannya. Ngerti?”

“Ngerti, Ayah.”

“Bagus.” Ayahnya mengangguk puas. “Jajanmu masih cukup?”

“Cukup.”

“Jangan begitu, kalau kurang jangan segan minta tambah.” Ayahnya mengambil uang dari dompet. “Ini ayah tambahkan.”

“Seratus ribu!?” Darren membelalak. “Nggak salah, nih?”

“Jangan dipakai untuk yang tidak-tidak, ya.” Ayah Darren mengacak-acak rambut putranya.

Lihat selengkapnya