Darren tidak bisa memercayai apa yang dilihat matanya. Di balik pepohonan itu, terdapat sebuah pantai dalam teluk kecil, pasirnya putih bersih dan di pojokan, tepat di depan bukit kecil, terdapat rumah pantai yang apik. Atapnya merah, sementara dindingnya di cat warna gading. Di sekitar rumah itu, terdapat halaman berpagar tumbuhan. Jalan menuju ke rumah berlapis batu koral putih yang berkilat di timpa cahaya matahari.
“Indah sekali.” Komentar Darren.
“Terima kasih.” Sahut Rosalynn.
“Apa?”
“Terima kasih, Darren.” Rosalynn mengulangi ucapannya dengan gaya mengeja. “Rumah ini adalah milikku. Nenekku telah mewariskannya padaku. Hanya untukku. Aku beruntung, ‘kan?”
“K-kau dapat warisan rumah dan pantai pribadi?”
“Tidak, bodoh.” Rosalynn tertawa. “Maksudku hanya rumahnya. Pantai ini sepi karena kebetulan tidak ada orang lain yang datang saat ini. Tanahku di batasi oleh pagar tanaman itu.”
“Oh, syukurlah ternyata kau masih normal.” Darren mengembuskan napas lega. “Kita parkir di mana.”
“Masuk saja ke halaman dan parkir di depan pintu masuk.” Pinta Rosalynn. “Cepat Darren. Aku ingin secepatnya main di pantai.”
Sabar.” Darren menghentikan skuternya dan membuka ikatan ikat pinggang. “Tunggu, aku buka ikatan yang ada di kakimu dulu.”
“Cepat!” Desak Rosalynn tidak sabar.
“Sudah.” Seru Darren. “Hati-hati saat menjejakkan kakimu karena ….”
“Aduh …,” keluh Rosalynn sambil tertawa. “kakiku kesemutan.”
“Harusnya 'kan kau sudah tahu.” Darren membuka helm Rosalynn. "Kita sudah berkendara seperti ini sejak kemarin."
Rambung panjang berwarna logam gadis itu tergerai saat terbebas dari helm.
“Gerah sekali ….” Lagi-lagi Rosalynn tertawa. “Aku masuk ke dalam dulu untuk ganti baju.”
“Aku ikut.” Darren bangkit dari jongkoknya.
“Ayo.” Rosalynn mengulurkan tangan, menunggu agar Darren meraih dan memegangnya. “Tempat ini sudah bertahun-tahun kosong. Entah ada monster apa di dalamnya.”
“Monster?” Darren tertawa. “Kau terlalu banyak baca buku horror.”
“Tapi akan jadi seru, iyakan?” Sahut Rosalynn sambil memeluk lengan Darren dengan manja. “Setidaknya hidupku tidak akan membosankan.”
“Kita akan tahu sebentar lagi.” Darren memutar gerendel pintu. Sedetik kemudian remaja itu mengumpat dirinya sendiri. “Tentu saja terkunci. Dasar bodoh.”
Darren mengalihkan pandangannya pada Rosalynn. “Di mana nenekmu menyimpan kuncinya?”
“Di sini.” Rosalynn berjongkok di sisi rumah yang dikelilingi batu-batu koral berwarna putih dan hitam. “Mana, ya …? Oh, ini dia.”
Rosalynn mengambil salah satu batu alam yang ternyata merupakan batu palsu yang berfungsi sebagai alat untuk menyimpan kunci. Sambil bergumam pada dirinya sendiri, Rosalynn memasukkan kunci ke lubang dan membukanya.
Pintu berderit saat Rosalynn membuka pintu lebar-lebar. Di dalam ruangan penuh dengan perabot yang ditutup oleh sprei berwarna putih. Darren berjalan masuk dan melihat tapak sepatunya membuat jejak di atas lantai yang berlapis debu dan pasir.
“Kita harus membersihkannya dulu.” Darren membuka salah satu sprei dan menggeletakkannya di sudut ruangan. “Apa nenekmu menyimpan penghisap debu?”
“Ada di dalam kloset.” Rosalynn membuka pintu ruangan kecil yang ada di bawah tangga. “Coba periksa apa air dan listriknya masih menyala.”
Darren menyalakan lampu dan membuka keran air.
“Masih menyala.” Darren bersiul kagum. “Aku pikir PLN sudah lama memutus sambungan listriknya.”
“Ini berarti ayahku masih membayar tagihannya.” Terang Rosalynn. “Aku tidak sangka ayahku sebaik itu.”
“Kenapa kau pikir ayahmu tidak baik.” Tanya Darren seraya menyingkirkan semua sprei putih yang menutupi perabotan. “Setelah makan kita harus membersihkan rumah ini.”
Rosalynn bersin.
“Lebih baik kau main keluar saja.” Saran Darren. “Rumah ini mungil, aku bisa membersihkannya sendiri.”
“Untuk apa aku main di pantai seorang diri.” Rajuk Rosalynn. “Lagi pula aku ingin membantumu. Boleh ‘kan?”
“Kalau begitu ….” Darren melihat ke sekeliling ruangan. “Bagaimana kalau kau mencuci sprei-sprei itu dan menjemurnya di luar.”
“Siap, kapten.” Rosalynn menjawab dengan salut.
“Jangan memaksakan dirimu, Rosalynn.”
“Iya, ayah.” ledek Rosalynn.
“Hei, kau mau kemana?” Panggil SDarren. “Kita makan dulu sebelum bekerja.”
Rosalynn menggaruk belakang kepalanya. Tersipu malu.
Keduanya pun tertawa.
Rosalynn mengajak Darren keluar, untuk makan di halaman yang tertutup oleh pasir pantai yang putih bersih. Makanan mereka adalah tongkol bakar. Sangat tepat untuk di makan di pinggir laut yang tenang dan damai.
Sesaat Rosalynn melupakan dunia tempatnya hidup. Dia merasa teluk kecil ini adalah dunia kecil yang diciptakan Tuhan untuknya dan Darren. Rosalynn memandang Darren sesaat. Bersyukur karena mereka diberi kesempatan untuk saling mengenal.
Kemudian mereka bekerja membersihkan rumah itu. Menghisap debu dari lantai dan mengepelnya dengan cairan pembersih. Walau lelah, keduanya menikmati pekerjaan mereka. Saling mengobrol dan bercanda.
Setelah pekerjaan selesai, keduanya berbaring di lantai untuk mendinginkan tubuh. Mereka puas, karena sekarang rumah mungil ini telah nyaman di huni.
“Sial!” Keluh Darren.