Suara petir membangunkan Darren dari tidurnya. Sambil menggosok matanya, remaja itu melirik ke luar jendela kamarnya yang terbuka. Hujan telah turun dengan deras. Guyuran air hujan yang terbawa angin masuk ke dalamnya membasahi tubuhnya yang mulai terasa menggigil.
“Jam berapa, ya sekarang?” Darren mendecakkan lidahnya saat menyadari jam dinding yang tergantung di hadapannya mati. “Rumah ini telah ditinggalkan bertahun-tahun. Sudah tentu semua jam dinding tidak ada yang masih hidup.”
Darren merogoh ke dalam ranselnya untuk mengambil smartphone yang dimatikan beberapa hari yang lalu. Darren kembali memasukkan baterai dan menyalakannya.
“Apa-apaan ini?” Darren terkejut saat smartphone-nya berbunyi saling tumpah-tindih. Rupanya ada puluhan DM dan miscall yang masuk. Remaja itu mendesah saat membaca pesan dari ayahnya. “Saat pulang nanti, ayahku akan menghajarku!.”
Darren menutup semua aplikasi dan melihat jam pada layar display.
“Pukul 00.45 dini hari.” Gumam remaja itu. “Tanggal 30 November. Di masaku pada saat ini … Rosalynn akan melakukan ….”
Darren tidak mampu melanjutkan ucapannya.
Telepon masuk dari nomor tidak dikenal menyadarkan Darren dari lamunan.
“Halo ….” Ujar Darren saat mengangkat telepon.
“Syukurlah,” terdengar suara Malcolm Ellis. “Darren dengar ucapanku baik-baik, aku sama sekali tidak marah. Aku hanya ingin tahu, di mana kalian saat ini? Apa Rosalynn baik-baik saja?”
“Kami baik-baik saja.” Jawab Darren. “Saat ini kami berada di rumah pantai nenek Rosalynn di Pangandaran.”
“Pangandaran? Rumah pantai? …, ya Tuhan.”
“Ada apa?” Mendengar nada suara Malcolm, Darren langsung merasa tidak enak. “Hei, kenapa?”
“Di mana Rosalynn saat ini?” Tanya Malcolm tanpa peduli pada pertanyaan Darren.
“Di kamarnya, sedang tidur.”
“Darren, tolong periksa Rosalynn.” Suara Malcolm yang biasanya angkuh sekarang jadi memelas dan memohon. “Tolong pastikan, apa adikku itu masih tidur di dalam kamarnya.”
“Sekarang juga aku menuju ke sana.” Darren bangun dari tempat tidur. “Memangnya ada apa?”
“Saat melarikan diri, Rosalynn menulis pesan padaku ….” Suara Malcolm tercekik. “Isinya adalah puisi yang pernah dibuat oleh Misao Fujimura yang berjudul Gantō no Kan.”
“M-Misao? Kanto?” Darren behenti berjalan. Mengerutkan kening. “Maaf, aku tidak mengerti.”
“Misao Fujimura adalah murid Natsume Sōseki, salah satu pengarang yang sangat dikagumi Rosalynn.”
“Siapa pula si Natsu itu?”
“Astaga!” Malcolm melanjutkan ucapannya dengan nada melecehkan. “Bagaimana mungkin anak secerdas Rosalynn sampai jatuh hati padamu?”
“Berhentilah menyindir dan cepat beritahu aku!” Omel Darren tidak sabar.
“Oke, oke, maaf.” Sesaat nada suara Malcolm mengingatkan Darren pada Malcolm tua yang ada di versi rentang waktunya. “Misao Fujimura, adalah seorang siswa Jepang yang bunuh diri di air terjun Kegon pada awal tahun 1900-an. Sebelum bunuh diri, Misao menulis sebuah puisi berjudul Gantō no Kan, yang memiliki arti Perasaan di Puncak Karang. Aku takut Darren. Aku takut kalau Rosalynn akan ….”