Segalanya gelap …. Aku hanya bisa melihat kegelapan yang pekat …. Di mana aku …? Aku ingin bangun. Tapi kenapa sulit bagiku untuk bergerak dan membuka mata? Apa yang harus aku lakukan. Bisakah aku menggerakkan sedikit otot di wajahku? Aku harus mencobanya. Aku harus terus mencoba.
Syukurlah? Aku bisa membuka mataku. Tapi pandanganku kabur dan semuanya terlihat begitu menyilaukan. Di mana aku berada saat ini? Semua ruangan terlihat serba putih? Apa aku sedang berada di rumah sakit?
Aku di sini tidak sendirian? Ada prang lain bersamaku. Kenapa dia terlihat begitu terkejut? Apa dia adalah … Rosalynn? Apa ini berarti aku telah berhasil menyelamatkannya? Syukurlah.
K-kenapa?
Kenapa Rosalynn menangis saat melihatku? Tidak, dia tidak boleh menangis. Aku ingin melihatnya tersenyum. Aku rindu senyumnya. Aku ingin kembali melihatnya.
“R-Rosalynn …,” Darren berkata dengan suara lirih dan kering. “Jangan menangis Rosalynn. Tersenyumlah untukku, Rosalynn ….”
Kenapa? Kenapa Rosalynn tidak tersenyum. Tangisnya malah semakin keras. Apa yang terjadi? Pandanganku kembali gelap. Apa aku akan ….
Darren kembali tidak sadarkan diri.
*****
Darren membuka matanya. Pandangannya yang nanar melihat seseorang yang akrab tengah duduk di sisi tempat tidurnya.
“Hei, apa kau sudah benar-benar sadar?” Orang yang berpenampilan serba rapih itu berkata.
“M-Malcolm?” Darren berkata lemah.
“Syukurlah kau masih mengenaliku.” Malcolm bangkit dari duduknya. “Sebentar, aku panggil perawat dulu untuk memeriksa kondisimu.”
Malcolm menekan bel.
TIdak lama kemudian, dua orang perawat berkebangsaan asing masuk ke dalam ruangan Darren. Kedua perawat itu memeriksa tubuh Darren sambil sesekali mengajukan pertanyaan dalam Bahasa Inggris yang sulit di pahami oleh Darren. Untung saja, Malcolm dengan sigap membantu untuk menjelaskan.
“Dokter akan datang dalam satu jam.” Ujar Malcolm setelah menyalami kedua perawat yang telah selesai melakukan tugasnya. “Sementara itu, ayo kita mengobrol.”
“Apa yang mau kita obrolkan.” Tanya Darren seraya menutup mata.
“Hei, jangan menutup matamu.” Tukas Malcolm. “Rosalynn bisa menghajarku kalau aku sampai lalai dalam menjagamu.”
“Rosalynn masih hidup?”
“Bukan sekedar hidup,” Malcolm tersenyum. “adikku itu bahkan sudah sembuh dari penyakitnya.”
“Obatnya sudah di temukan?”
“Sudah, setahun yang lalu.” Malcolm mendesah seraya kembali duduk dikursinya. “Terapi yang dijalaninya sangat berat. Tapi semangat hidupnya tinggi karena ingin melihatmu kembali membuka mata.”
“Di mana dia sekarang?”
“Sedang kuliah.” Malcolm menunjukkan smartphone-nya. “Aku sudah memberi kabar kondisimu padanya. Saat ini, Rosalynn tengah menuju ke sini.”
“Dia tidak jadi pulang ke London?”
“Apa sih yang kau katakan?” Malcolm tertawa. “Kita semua pergi ke London.”
Malcolm membuka tirai jendela.
“Apa kau tahu kita tepatnya berada di mana?” Malcolm tersenyum lebar. “Chelsea di London. Salah satu dari rumah sakit terbaik di dunia.”
Kakak Rosalynn itu kembali duduk di dekat Darren.
“Keluarga kami telah mengeluarkan banyak biaya selama tiga tahun pengobatanmu di sini.” Malcolm menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Tanpa kami, kau pasti sudah mati sejak tiga tahun yang lalu. Aku tidak yakin kau akan mampu membayar biayanya. Raga dan jiwamu milik keluarga kami sekarang, Darren. Apa kau takut?”
“Oh, sial!” Keluh Darren sambil tertawa. “Aku harus melakukan apa untuk membayarnya? Jangan bilang aku harus menjual ginjalku. Aku tidak mau!”
“Kami hanya ingin satu, Darren Aranatta.” Malcolm mendekatkan wajahnya dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh. “Setialah di sisi Rosalynn dan bahagiakan dia. Terima kasih, Darren. Terima kasih karena kau telah menyelamatkan adikku.”