“Entah sampai kapan pikiranku bisa mengendalikan tubuh ini.” Malcolm berkata padaku dengan suara bergetar. “Aku takut kalau diriku yang ada di masa sekarang akan kembali mengambil alih kendali dan kesadaranku pun hilang selama-lamanya.”
Aku membuka mata dan duduk di atas tempat tidur. Mimpi itu selalu menghantuiku sejak terbangun enam bulan yang lalu. Aku masih tinggal di London. Keluarga Ellis membiayai perawatanku dan bahkan guru privat, agar aku mampu mengejar pendidikanku yang tertunda. Mereka benar-benar mendidikku untuk menjadi pasangan yang sepadan bagi Rosalynn.
Tidak apa.
Aku sama sekali tidak berkeberatan.
Saat ini aku berada di klinik rehabilitasi di pinggiran London. Saat koma, otakku mengalami trauma sehingga ada beberapa syaraf yang rusak. Efeknya, aku tidak bisa menggerakkan beberapa bagian tubuhku dengan sempurna. Namun, ini hanya sementara. Sebagai orang muda yang sehat, otak dan syaraf-syarafku akan mampu beregenerasi sehingga pulih seperti sedia kala.
Namun, bukan itu yang mengganggu pikiranku.
Dokter yang merawatku menjelaskan, kerusakan terbesar berada di inti bagian otak terdalam. Konon, banyak yang percaya, di sanalah akal pikiran dan jati diri manusia berada. Aku bukan ilmuwan, namun aku sadar otak manusia tidak akan mampu menampung dua buah kesadaran. Keduanya akan bertarung dan yang kalah akan lenyap untuk selama-lamanya.
Itulah yang mengganggu pikiranku ….