Kisah Empat Monyet

ASRUL AZIZ SIGALINGGING
Chapter #1

Prolog

JADI katakan apa yang ingin kau ketahui ? Kataku kepada jurnalis keras kepala di depanku. Ia diutus oleh Kepala Penjara untuk mewawancaraiku tapi aku sama sekali tak mengerti kenapa Kepala Penjara melakukannya. Ia tahu aku bukan orang yang suka bertemu dengan orang lain apalagi untuk mengobrol. Satu satunya alasanku mau menuruti permintaannya menemui jurnalis ini hanyalah karena hampir delapan tahun ini dia begitu baik kepadaku. Terakhir kali kebaikannya telah menyelamatkanku dari tangan seorang sipir yang hampir membuatku tewas setelah berkali kali menceburkan kepalaku ke bak mandi. Masalahnya sepele, hanya karena aku menolak membersihkan laras sepatunya dan meludahi wajahnya.

Hari yang lalu Kepala Penjara kembali menasehatiku. Sekeluar dari penjara ia berharap aku dapat memaafkan diriku dan melupakan semua yang telah terjadi. Katanya, ia dan keluarganya selalu mendoakanku untuk itu. Aku tahu dia mengatakan hal yang sama kepada semua narapidana di tempat terkutuk ini. Namun keteguhannya setiap saat mengatakan hal yang membosankan itu berulangkali kepadaku bukanlah sesuatu yang dapat dimengerti sesederhana itu. Dia membutuhkan suatu dorongan lebih dari sekedar perintah tugas. Tentu saja. Tapi aku hanya diam sambil membersihkan sampah dan mencabuti rerumputan di lapangan yang menjadi tugas harianku setiap sore di penjara busuk ini.

“Sampai kapan kau akan bersikap begini Kal. Kau harus berhenti menyalahkan dirimu” Ujarnya.

Aku tak meladeni ucapannya. Kepala Penjara tentu memahami sikapku. Ia telah mengalaminya sejak ditugaskan pertamakali di lembaga pemasyarakatan ini sejak tujuh tahun lalu. Andai ia lebih awal bertugas di penjara yang khusus menahan kriminal - kriminal berbahaya ini mungkin ia akan menghadapi sikap batuku sejak hari pertama aku dibui di penjara busuk ini. Dua puluh lima tahun lamanya. Aku tak pernah bicara pada siapapun sejak saat itu bahkan kepada Tuhan sekalipun. Tidak ada hari ketika aku bertemu dengannya aku mengelurkan sepatah kata pun untuk menjawab perkataannya kecuali saat meminta rokok padanya. Ia lalu mengulurukan selembar surat kepadaku. Surat pembebasanku.

“Ya. Hukumanmu berakhir minggu depan Kal. Kau akan segera bebas” Katanya dengan sebersit senyum sembari mengulurkkan surat itu ketanganku. Aku meraihnya. Mendapati jika surat itu seketika kuremuk lalu kucelupkan begitu saja ke dalam saku seragam tahananku, Kepala Penjara menghela nafas seraya berkata.

“Kal, aku tahu kau tak akan peduli. Tapi ini waktu bagimu melupakan semuanya. Kau harus mulai memikirkan hidupmu. Kau tak harus seperti ini. Dendam tak akan membawa yang pergi kembali. Semua sudah berlalu, Kal” Ucapnya dengan sedikit menekan dan iba. Dalam lubuk hati aku berkata keluar dari penjara busuk ini juga tak akan membawa yang telah pergi kembali. Aku hanya diam.

Hari itu juga ia mengabarkan padaku jika ada jurnalis yang ingin mewawancarai beberapa tahanan untuk keperluan reportase penyambutan hari kemerdekaan. Namaku ada diantaranya.

“Aku tahu kau tak akan mau menemuinya. Apalagi wartawan. Tapi paling tidak temuilah dia dan katakan padanya kalau kau tak ingin diwawancara. Mudahkan. Tapi saranku, bicaralah meski sebentar. Anggap saja ini permintaan terakhirku padamu sebelum kau bebas”

Wartawan, wawancara ? Omong kosong apa lagi ini. Aku tidak terlalu memikirkannya. Sejujurnya aku memikirkan ucapanya tentang kebebasanku. Tapi tentu bukan kebebasan seperti yang ia bayangkan dan harapkan ribuan kali ketelingaku. Bagiku, penjara sesungguhnya adalah kota ini. Ya, kota ini. Setiap kenangan dan masa lalu di kota ini akan menghukumku. Mengejarku ke setiap sudut, ke setiap sisi, tak akan ada tempat bersembunyi. Aku tak akan pernah lolos darinya. Dan ini tidak akan pernah habis sepanjang sisa hidupku. Sepantasnya hanya kematianlah kebebasan yang paling pantas untukku. Sebuah harga yang layak untuk menebus penghianatanku kepada mereka yang telah kukorbankan demi tujuan gila dua puluh lima tahun yang lalu. Masa itu telah silam tapi ia selalu muncul dan selalu menguat setiap saat aku berusaha melupakannya.

Lonceng penjara seketika berbunyi. Isyarat bagiku dan ratusan tahanan lain harus segera berkumpul di lapangan sebelum masuk ke dalam sel. Aku terpikir, tidak ada salahnya menuruti permintaan Kepala Penjara kali ini, toh, seperti yang diucapkannya, aku juga akan bebas dalam waktu dekat tapi tentu saja bukan kebebasan yang seperti ia bayangkan.

Lihat selengkapnya