Sabaq, 1998
Seperti kota - kota lainnya di pulau Sumatera, Sabaq, kota kami saat ini, adalah kota kecil di pesisir pantai barat yang indah. Jika merujuk katalog terbitan pemerintah kota maka sejenak orang orang akan membayangkan sebuah kota kecil yang megah yang keindahannya setara dengan luasnya. Ya, begitulah Sabaq dituliskan. Sebuah metropolitan kecil di kaki bukit barisan yang berdiri di atas daratan pantai, lereng dan pegunungan dan dihuni hampir sembilan puluh ribu jiwa. Sebagai sebuah kota kecil kaya raya yang melimpah sumber daya alam, Sabaq telah memenuhi semua prasyaratan peradaban yang selama ini hanya dimiliki kota kota besar meski luas tanahnya hanya separuh dari daratan Jakarta. Gedung – gedung tinggi, bar, rumah sakit, bioskop, bandara, hotel, mal, stadion, terminal, Sabaq memiliki segalanya termasuk pendapatan per kapita tahunan kota yang besar. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh, petani, nelayan, dan industri skala kecil dan sisanya tentu saja aparat pemerintah dan pengusaha. Jumlah orang kaya di kota kami mungkin hanya lima persen dari total penduduk kota tapi jumlah orang yang benar benar sangat sangat kaya raya di kota kami boleh dihitung jari dan sisanya adalah penduduk kelas menengah dan kecil. Meski begitu semua hidup berdampingan satu sama lain tanpa pertikaian. Sabaq hidup dengan inklusinya sendiri. Orang-orang kaya membantu orang lemah, dan sebaliknya. Kekayan sumber daya alam kota ini juga dikelola dengan baik oleh pemerintah yang sangat bisa dipercaya. Industri dan pembangunan terus berkembang sehingga angka kemiskinan nyaris nol di kota ini. Konon, seseorang akan sangat kesulitan menemukan anak yang menderita gizi buruk dan kelaparan di kota ini. Industri kecil dan menengah juga terus tumbuh seiring kebijakan pemerinah kota yang memberikan insentif dan kemudahan pajak. Pemerintah kota melakukan semua yang terbaik untuk warga yang hidup dan berbuat untuk kota ini mulai dari menyediakan akses layanan kesehatan gratis, fasilitas pendidikan gratis dan lapangan kerja yang luas. Inilah Sabaq. Kota cahaya penuh masa depan, begitu jika menurut slogan selamat datang yang terpajang di tiap pintu gerbang masuk kota ini.
Namun, sangatlah penting untuk memahami kota ini dari sudut pandang orang lain bukan dari katalog buatan pemerintah kota semacam itu. Bisa saja dari seorang pencopet di terminal atau seorang pelacur di distrik Sabuluan. Sebagaimana topeng, kota ini dengan baik menyembunyikan wajahnya yang sebenarnya. Justru setelah sekian lama tinggal di kota ini kau akan melihat kebobrokan. Nyatanya, diantara gedung – gedung tinggi tadinya, bar, rumah sakit, bioskop, bandara, hotel, mal, stadion, terminal, pendapatan per kapita yang besar, kau akan melihat kemiskinan, gang-gang kotor dan berbau, pengemis – pengemis lapar yang kebingungan di setiap persimpangan rambu lalu lintas, rumah-rumah hitam nan jelek, perampok jalanan, pajak yang memeras orang miskin, terminal dan pasar yang dipenuhi bandit dibandingkan pedagangnya, masyarakat yang mengantri raskin, peredaran narkotik, layanan fasilitas publik yang buruk, petugas lalu lintas yang tiap hari menerima sogok, pasien miskin yang mengantri berhari hari di bangsal rumah sakit, wanita yang menjual tubuhnya untuk mempertahankan hidup, yang kesemuanya bersimbiosis atas nama kesulitan hidup. Inilah Sabaq sejatinya. Sebuah neraka yang dipantaskan sebagai firdaus. Dan neraka ini—maksudku surga ini, dikendalikan segelintir orang kaya berpengaruh melalui mereka yang mengaku dipilih secara demokratis, pemerintah kota.
Benar adanya kota ini telah mengalami kemajuan pembangunan yang pesat sejak orde baru berkuasa. Roda pembangunan memang berkembang. Ekonomi tumbuh namun tidak menyentuh semua lapisan. Pembangunan hanya memoles beton beton dan meninggalkan manusia penting di dalamnya; orang orang miskin, nelayan kecil, buruh yang diupah rendah, anak-anak putus sekolah, para manula yang tidak terurus dan terlantar, petani yang dirampas lahannya, guru guru yang tidak gaji, pedagang kaki lima yang digusur. Berbanding terbalik dengan mereka orang orang kaya yang selalu dapat menikmati kota ini dari segala sisi yang mereka inginkan. Sekilas kau akan melihat permukaan yang bening. Namun di dalamnya, Sabaq tak ubahnya hanyalah kotoran busuk yang dikemas dalam peti kaca berlapis kristal yang ditempatkan di toko perhiasan. Orang orang tak akan pernah tahu isi di dalamnya sebelum ia membuka pembungkusnya. Sabaq, ia tak pernah semanusiawi yang dituliskan buku buku brengsek itu. Kesenjangan kelas adalah darah daging kota ini. Sabaq telah ditempa menjadi sebuah kota kecil yang disuguhkan hanya bagi segelintir orang orang kaya untuk dieksploitasi membabi buta dan menyisahkan penderitaan pada mereka yang tak beruntung. Kota ini pun hidup dalam segregasi yang tajam meski ia selalu tersamarkan karena watak sebagain besar penduduk kota yang tidak beruntung ini, yang secara konsisten selalu menerima apa pun kebijakan pemerintah kota meski semua ini telah mencekik mereka dari generasi ke generasi. Tidak jelas sejauh mana persisnya agama mampu menata hidup orang di kota ini. Yang pasti, rumah rumah ibadah di kota ini selalu sesak dipenuhi orang orang yang haus akan keberadaan tuhan. Tetapi di kota ini juga, adalah hal yang normal dan biasa saja menemukan seorang manula tunawisma dibawah terik matahari sedang mengemis kelaparan di depan supermarket dan disaat yang sama sepasang keluarga kaya – raya sedang memanggang barberqiu di tepi kolam renang sambil menggopok bertangkai-tangkai anggur. Pasien miskin yang mengantri berhari hari tanpa kepastian di bangsal rumah sakit pemerintah untuk mendapatkan pengobatan gratis sementara disaat yang bersamaan anak orang-orang kaya dengan gampang mendapatkan pelayanan kesehatan vip di rumah sakit yang sama meski hanya mengeluhkan masuk angin biasa. Ini adalah kenyataan di dalam kota ini. Kenyataan yang hanya dapat disimak jika kau memulai perjalananmu dari lorong-lorong yang tak pernah terucap dari bibir pemerintah kota.
Barangkali kau bisa memulainya dari Jalan Haras, tempat ratusan penduduk digusur tanpa ganti rugi untuk membangun pusat perbelanjaan dan terminal yang bersilang tempat dengan sebuah bar dan diskotik yang tidak berapa jauh didekatnya bersebelahan dengan sekolah, gereja dan apotek milik orang tionghoa. Setiap hari tiba, dari pagi hingga malam, distrik ini akan terlihat seperti rebutan antara iblis dan malaikat. Lalu ke distrik Pondok Bata, disanalah kebanyakan transmigran-transmingran tak beruntung dari pula jawa dan flores berakhir menjadi kuli kasar pelabuhan dibawah kendali seorang bekas tentara desertir yang dikendalikan pemerintah kota. Mereka diupah rendah namun dengan resiko pekerjaan yang mengerikan, dari mengangkut dan memasang balok tiang besi seukuran monas hingga membersihkan lambung lambung kapal minyak dan tongkang batu bara tanpa pengaman yang memadai. Jangan pernah lupakan distrik Sabuluan, tempat dimana birahi dan narkoba diperdagangkan dan dibekingi para aparat penegak hukum. Pada umumnya wanita penghibur disana adalah perempuan perempuan tua-muda yang sebagian besar merupakan penduduk pribumi asli kota ini. Pada awalnya kau akan merasa bingung bagaimana bisa perempuan-perempuan tua-muda yang sebagaian besar merupakan penduduk asli kota ini berakhir di neraka seperti itu. Ini hanyalah sebagian dari ledakan kecil yang disebabkan oleh egoisme pembangunan yang bertitik tolak dari tangan tangan pejabat korup, pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan, dan masyarakat yang sekedar bertaruh untuk makan. Para sosiolog menyebutnya dampak buruk pembangunan tapi para aparat korup punya cara lain untuk mendefenisikannya, sebuah bisnis kecil ilegal untuk memperindah “pariwisata” kota ini terutama untuk mengeruk uang dengan cara lain dari para turis-turis asing yang semakin sering mengunjungi Sabaq yang konon katanya begitu terhasut pesona alam kota ini yang sebenarnya tidak ada apa apanya, hanya berisi pantai dan laut yang tercemar limbah dan sampah, bukit dan pegunungan yang sudah bopeng dan botak tak bersisa, dan situs situs sejarah yang tak terawat dan kusam. Dengan penjelasan ini kau mungkin akan bertanya, lalu apa keindahan sebenarnya yang dimiliki oleh pariwisata kota ini ? Selain birahi dan segala hal yang memabukan rasanya tidak ada lagi. Dan jangan pernah merasa heran jika tempat tempat mesum seperti ini justru dirazia oleh petugas namun dibekingi juga oleh mereka sendiri. Ini hanyalah kamuflase untuk menjaga kelangsungan bisnis dimata hukum dengan membelakangi moral.
Berkelok sedikit ke barat, tepatnya di Kampung Nelayan, maka kau akan menjumpai tempat ratusan nelayan miskin menggantungkan pengharapan pada hamparan teluk yang tersambung ke samudera hindia diantara kapal-kapal minyak dan tongkang batubara yang melintas di pantai kota. Kampung Nelayan adalah distrik paling mengenaskan di kota ini. Karena kekotorannya yang luar biasa parah, penduduk yang susah diatur, kekerasan yang merajalela, menemukan satu unit fasilitas layanan publik akan sangat sulit dijumpai di perkampungan ini. Hampir separuh lebih anak anak di perkampungan kumuh tepi pantai ini tidak bersekolah. Letaknya yang berada persis di belakang puluhan gedung gedung pencakar langit kota menegaskan posisinya yang tidak ada apa-apanya bagi pemerintah kota namun teramat penting bagi para penyelundup narkoba dan pelaku perdagangan manusia. Pada umumnya penduduk di pinggir kota ini juga tidak terdaftar dalam dokumen catatan sipil pemerintah kota karena menurut keyakinan sebagian besar penduduk di distrik ini, ini hanya akan memberi alasan bagi pemerintah kota untuk mencampuri hidup dan urusan mereka lebih dalam.
Jadi tidaklah benar kota ini adalah kota cahaya. Sebaliknya, kota ini diselimuti kegelapan. Kegelapan yang teramat sangat meski televisi menyiarkan sebaliknya. Ini hanya sebagian kecil diantaranya. Kau akan melihat lebih banyak kegelapan jika kau menjadi bagian dari kota ini, sepertiku. Kota ini adalah satu dari sekian banyak wujud dari percampuran estetis ketimpangan kelas yang sedemikian sistemik yang disebabkan oleh sistem yang menindas, pejabat yang korup, hukum yang buruk, yang diperparah oleh kronisme berbulu orde baru. Tentu sebagian besar penduduk kota menyadari ini semua. Tapi sebagai kota yang busuk, sialnya, ia juga mewarisi pemerintah yang sewenang-wenang yang tidak akan segan-segan memenjarakan setiap orang yang menentang semua agenda pembangunan ini. Terkadang dan lebih sering mereka menyingkirkannya. Tidak ada yang akan sanggup melawan keadaan seperti itu. Mereka mempersenjatai diri dengan hukum, polisi dan tentara yang mereka buat. Dan semua ini menciptakan ketakutan, ketakutan yang mewabah. Sehingga setiap generasi baru yang tumbuh dan mencoba merintangi arus seperti itu hanya akan berujung pada akhir yang sama, penjara atau kuburan. Tentulah kebanalan pemerintahan yang kotor dan sewenang wenang semacam ini tidaklah berdiri sendiri. Semua ini memiliki alasan. Investasi dan pembangunan. Dua kata yang selalu samar untuk dipisahkan. Yang dengannya mereka harus bersikap sebaliknya pada siapapun yang mau membayar agenda ini. Memberi mereka jalan meski harus dengan menyingkirkan masyarakatnya sendiri. Dan pada akhirnya mereka, para elit pejabat pemerintah kota ini, justru menjadi kuli bagi segelintir orang orang kaya raya yang ternyata jauh lebih busuk dari mereka sendiri. Sehingga, seperti kota – kota lain di tanah air, di kota ini kemelaratan hidup pun berbagi tempat dengan segelintir orang kaya pongah yang menikmati hidup dari pundak dan keringat orang orang yang menderita ini. Dan salah satunya adalah Ayahku, Beni Ponto. Aku menuliskan semua ini sebagai peringatan bagimu bahwa meski Ayahku adalah orang yang manis dan lembut, ia jauh lebih kejam dari kota ini!
*
Ayahku adalah seorang pengusaha sukses kaya raya dan satu-satunya putra asli kota kami yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri di Boston, Amerika Serikat. Dia seorang pebisnis berpengaruh. Seorang pria kaya raya yang lihai menjalin benang merah antara bisnis dan politik. Barangkali karena begitu piawainya ia menjalin hubungan ini, ia dengan mudah mendapatkan hampir semua kontrak pekerjaan pembangunan penting di kota ini. Ayahku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki pebisnis-pebisnis lainnya di kota kami. Dia selalu dapat melihat peluang ditengah celah sesempit apapun yang tidak banyak pebisnins lainnya di kota ini mampu lakukan. Ia selalu dapat memisahkan emas dari kuarsa meski untuk meneguhkan supremasi bisnisnya ini ia selalu terlihat sulit sekedear memisahkan antara hitam dan putih.
Ketika para investor memilih menanam uangnya di sektor perkebunan di daerah selatan dengan membangun ribuan hektar perkebunan karet dan kelapa sawit, sebaliknya, Ayahku justru memilih menanam uangnya di sektor properti yang sangat tidak direkomendasikan para perancang kota saat itu. Ia memilih membangun sebuah gedung di pinggir kota. Dengan harga yang terbilang sangat murah ia menebus tanah-tanah tak terurus nan kumuh di tengah kota dari penduduk sekitar lalu mendirikan beberapa gedung kecil yang untuk beberapa tahun terbiar tak berarti karena tak satu pun dari gedung-gedung ini mampu memikat para pelaku usaha untuk membeli atau sekedar menyewanya. Buruknya akses dan infrastruktur jalan pada masa itu menjadi sebab mengapa bangunan bangunan ini terlantar sekian puluhan tahun. Dan selama itu pula Ayahku ditertawakan rekan-rekan maupun kompetitornya karena ide konyolnya mendirikan gedung di pinggir kota terutama karena Ayahku melakukannya tanpa sekalipun memijakkan kaki di kota kelahirannya ini. Semua ia lakukan di masa muda dengan bolak balik antara Jakarta, Medan, Singapura, Malaysa dan Amerika Serikat. Kekonyolan Ayahku tidak berhenti disitu. Ayahku begitu terobesei dengan tanah sehingga tak berapa jauh dari lokasi tanah dan gedung miliknya, Ayahku juga menginvestasikan uangnya untuk membeli tanah rawah tak terurus di daerah Simara-Mara dan Haras. Di lokasi ini ia lantas mendirikan beberapa bangunan yang untuk beberapa tahun bernasib sama dengan tanah dan bangunan yang ia dirikan sebelum-sebelumnya. Keseriusan Ayahku mendapatkan lahan lahan kusam di kota diperkuat oleh upayanya yang berani membayar lebih para pejabat pertanahan untuk menerbitkan alas hak sepenuhnya tanah-tanah murah kusam nan bobrok yang belakangan dihuni pemukim ilegal dan pedagang kecil serta para preman yang mencari makan di lokasi itu. Lagi-lagi ide ini ditertawakan. Ditertawakan karena pada masa dulu kota ini adalah tempat yang suram untuk sebuah bisnis dan investasi. Tetapi ketika harga karet dan kelapa sawit merangkak naik, satu hal yang tak pernah orang orang pikirkan bahwa situasi semacam ini sebaliknya justru akan mendorong naiknya harga tanah dan properti. Keuntungan besar di depan mata tatkala kebutuhan tanah untuk perkantroan dan perumahan semakin tinggi seiring laju transmigrasi dan pembangunan besar besaran yang digencarkan oleh pemerintah pusat. Hanya dalam waktu singkat tanah-tanah yang dibeli oleh Ayahku melesat dengan harga fantastis. Ayahku mengeruk untung seiring meningkatnya permintaan lahan untuk pembangunan perumahan dan gedung perkantoran. Situasi ini pun mendorongnya untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai direktur sebuah perusahaan investasi di Jakarta dan memilih menghabiskan lebih banyak waktu mengurusi bisnis di kota kelahirannya ini. Ketika pemerintah kota berencana membangun terminal, pasar pusat perbelanjaan dan pelabuhan seiring dengan berkembangnya kota, pemerintah kota tak punya pilihan selain harus bernegosiasi dengan Ayahku untuk menebus tanah miliknya yang dulu hanyalah tanah rawa tak terurus, pemukiman pemukiman kumuh. Ayahku tidak lantas menjualnya dengan harga tinggi kepada pemerintah kota. Dengan negosiasi yang tidak banyak orang ketahui, Ayahku melepas tanah itu kepada pemerintah dengan harga tidak berbeda jauh saat ia membelinya tetapi dengan satu syarat, bahwa pemerintah kota akan mendukung perusahaan yang akan ia dirikan untuk mengerjakan seluruh proyek pembangunan kota yang dijalankan pemerintah saat itu. Timbal balik ini menjadikan Ayahku satu satunya orang yang mengantongi kontrak-kontrak pembangunan penting di kota kami. Mulai dari gedung perkantoran, terminal, jalan raya, stasiun pengisian bahan bakar, hingga gedung-gedung pemerintahan, seluruh kontrak pekerjaannya diserahkan kepada perusahaan Ayahku. Saat itu pulalah orang mulai mengenal siapa ayahku. Namanya segera menjadi bahan pembicaraan terutama ketika ia mendapatkan kontrak pembangunan pelabuhan dan dermaga. Para pesaingnya mulai memperhitungkannya tanpa kecuali berusaha menjatuhkannya. Tapi ayahku bukanlah seekor ruba yang menetap pada satu lubang.
Setelah mengeruk untung tak terkira dari proyek strategis pemerintah kota, Ayahku lalu mendirikan hotel tepat di pusat kota dan perlahan beralih menginvestasikan uangnya di sektor perbankan yang sungguh sangat terasa aneh bagi rekan maupun pesaingnya kala itu, mengingat, ia akan berhadapan dengan segelintir konglomerat tionghoa kaya raya yang sejak lama mengendalikan bisnis di sektor semacam itu. Tapi itulah Ayahku. Tidak ada yang dapat menebak dirinya kecuali dirinya sendiri. Dan untuk semua ini tentu saja sudah tak terhitung berapa banyak uang yang ia keluarkan untuk membasuh paruh dan kerongkongan para pejabat di kota kami. Ayahku punya sebutan bagus untuk orang-orang semacam ini : binatang liar yang menyenangkan.
Terlepas dari kenyataan bahwa Ayahku adalah seorang pebisnis sukses berpengaruh bukan berarti ia tipe orang yang melupakan kaum papa dan orang orang yang membutuhkan belas kasih di kota ini. Tidak seperti pengusaha kaya lain di kota kami yang hanya peduli pada bisnis dan keluarganya, Ayahku, meski wajahnya tidak pernah muncul dalam kegiatan komunitas apa pun tapi namanya selalu muncul dengan harum pada kegiatan kegiatan amal penting di kota ini. Para pemuka agama kerap membesar besarkan namanya sebagai malaikat yang dengan telah begitu iklhas mendonasikan uangnya untuk kegiatan amal. Menurut sebuah berita yang kubaca di koran, selain gedung kantor kepolisian dan sebuah rumah sakit dan panti asuhan di kota kami dibangun atas donasi perusahaan ayahku, beberapa rumah ibadah sebagian besar juga dibangun dengan donasi dari perusahaannya. Mungkin ini pula sebab mengapa wajah ayahku kerap dipajang di baliho dan spanduk kegaiatan - kegiatan amal dan namanya selalu tersebut dalam doa para pemuka agama meski ia bukan tipe orang yang melibatkan diri dalam komunitas keagamaan tertentu. Ayahku seorang muslim, tapi dia adalah muslim yang buruk. Muslim macam apa yang menjadikan wyne dan martini sebagai teman yang harus selalu ada tiap saat ia menjamu kolega koleganya. Kedermawanan tidak membutuhkan dorongan. Ini sesuatu yang alami. Jati diri seorang hamba. Begitulah jawaban yang kudengar ketika hal konyol ini di masa kecil kutanyakan kepada Ayah, yang seketika meraih botol wyne nya dan menuangkannya ke dalam gelas lalu memberinya irisan lemon sesaat kami baru saja kembali usai menyelenggarakan ibadah sholat idil fitri. Sungguh luar biasa Ayahku. Kedermawanannya mendonasikan sebagian uangnya untuk amal yang tanpa membutuhkan alasan benar-benar membuatnya pantas menyandang julukan sebagai seorang pria sempurna yang terhormat dan terpandang yang selama ini disematkan para pemuka agama dan orang orang papah kepadanya.
Namun, betapapun orang orang menyebut Ayahku seorang seorang pria sempurna yang terhormat dan terpandang, yang tidak sungkan membagi kekayaannya yang lima ratus kali lipat jumlahnya dari seluruh total anggaran tahunan kota ini, tetap saja terdapat satu kecacatan dalam dirinya yakni ia seorang duda kaya raya dengan seorang putra satu satunya berumur delapan belas tahun yang sejak bayi tumbuh tanpa kehadiran sosok Ibu disisinya. Ya, Ayah dan Ibuku telah lama bercerai. Sejak kecil aku diasuh oleh Ayahku. Sementara Ibuku, dia telah meninggalkan kami sejak aku dilahirkan. Aku tidak tahu persis bagaimana Ibuku. Tidak banyak catatan yang kuketahui tentangnya. Dari berbagai cerita yang kudengar, sejak menikah dengan Ayahku, Ibuku selalu bersikap buruk. Jika Ibuku ada di rumah, sementara Ayahku sedang mengurus bisnis di luar kota, Ibuku sering mengadakan pesta dan bahkan mengundang teman-teman prianya. Setidaknya begitulah yang kudengar dari cerita Ayahku saat usiaku masih puluhan tahun. Meski aku bocah, tidak serta merta cerita itu kupercayai seutuhnya. Aku pernah menanyakan hal yang sama kepada pembantu-pembantu di rumahku seperti Bibi Nani dan Wak Zul, sepasang keluarga yang sejak lama bekerja pada Ayahku bahkan sebelum aku dilahirkan. Bila dibandingkan dengan penuturan Ayahku, cerita mereka lebih mudah membuatku mengerti dibanding cerita Ayahku yang menuturkannya sedikit samar dan membingungkan. Mungkin karena aku darah dagingnya dan masih bocah kala itu sehingga ia begitu enggan melukai perasaanku untuk mengatakan jika Ibuku adalah seorang pecandu alkohol yang tidak sungkan membuka pintu bagi pria lain.
Jadi, sejak kecil seluruh rekaman tentang Ibuku adalah buruk dalam diriku. Ibuku bukanlah seorang yang berperilaku baik seperti Ibu-ibu yang lain di muka bumi ini. Maka satu-satunya hal yang kuketahui tentang Ibuku dia adalah sesuatu yang tidak pantas disebut namanya ditengah-tengah keluarga kami yang terpandang. Kenyataan ini turut membentuk sikapku hingga cara pandangku terhadap dunia luar. Barangkali kenakalan dalam diriku juga lahir dari rahim semacam ini. Namun walau bagaimanapun aku tetaplah seorang anak yang selalu ingin membayangkan bagaimana rasanya hidup dengan seorang Ibu. Tapi tentu bukan seperti Ibuku. Tidak! Aku punya segalanya tapi tidak tentang ini. Aku tumbuh tanpa seorang Ibu di sisiku. Tentu Aku bersyukur dibesarkan oleh Ayahku. Aku sangat mencintainya. Dia panutanku sekaligus pahlawanku. Akan tetapi walau bagaimana pun Ayahku tak akan bisa menjadi panutan wanita bagiku. Jika kau menjadi aku, kau akan merasakan jurang gelap di dalam batinku yang teramat dalam sehingga kau tak akan mampu memahami apa yang sesungguhnya terjadi dengan dirimu sendiri sekalipun kau dapat membeli seisi dunia. Itulah yang terjadi padaku. Kekosongan semacam ini membutaku merasa sepi dan terkadang membuatku selalu bertanya tanya bagaimana sebetulnya rasanya hidup dengan seorang Ibu disisimu ? Sekali lagi kutekankan tentu bukan seperti Ibuku! Kadang-kadang aku berpikir dengan uang Ayahku yang sebanyak itu kenapa aku tidak bisa membeli ibu-ibu baru yang menyenangkan ? Sejak bercerai, Ayahku memang tidak pernah dekat dengan perempuan lain meski tidak tak terhitung banyaknya perempuan yang berusaha mendekatinya. Semuanya cantik, kaya dan menurutku layak menjadi pendamping Ayahku. Terakhir kali seorang notaris setelah sebelumnya seorang eksekutif perusahaan minyak yang suka memberiku coklat tiap kali berkunjung ke rumah kami. Tetapi Ayahku hanya memperlakukan mereka semua tak lebih dari sekedar rekan kerja. Sering aku menanyakan hal ini kepadanya mengapa Ayah tak menikah lagi. Dan pertanyaan-pertanyaan ini terkadang dan lebih sering muncul dan bercampur baur dengan perasaanku di masa kecil. Menyaksikan teman-temanku selalu didampingi Ayah-Ibunya saat mengantarkan mereka ke sekolah, saat penerimaan raport, saat hari pengumuman naik kelas, membuatku kerap bertanya-tanya kenapa aku tak punya kesempatan seperti itu ? Dan Ayahku selalu punya alasan bagus untuk itu. Alasan yang selalu ia hidupkan tiap saat aku disapu kecemburuan menyaksikan teman-temanku bercengkrama dengan Ibu-Ibu manis mereka.
“Dengar jagoan Ayah. Di dunia ini Ayah hanya menyayangi seseorang dan itu adalah anak Ayah. Ayah sangat menyangimu, Kal. Ayah tak mau berbagi kasih sayang dengan orang lain kecuali denganmu nak. Begitupun seharusnya dengan anak Ayah”
Inilah jawabannya. Jawaban yang selalu mengenyangkan sanubariku. Usiaku tujuh belas tahun sekarang, dan aku tak pernah melihat Ayahku mengingkari ucapannya. Tak bisa kupungkiri jika hal ini jugalah yang menjadi alasan kenapa aku tak pernah lagi menuntutnya menikah dengan perempuan lain. Terlebih gosip gosip yang kudengar dari pembantu-pembantu di rumahku jika wanita-wanita yang berusaha mendekati Ayahku hanya bermaksud mengincar hartanya jelas saja membuatku khawatir. Aku sungguh membenci Ibuku tetapi aku lebih membenci jika orang lain mendapatkan kasih sayangnya hanya untuk mengejar hartanya. Beberapa film yang kutonton di masa kecil tentang perlakuan kasar ibu sambung pada anak tirinya juga seakan membenarkan mulut mulut para pembantu di rumahku. Apa jadinya hidupku jika Ayahku benar benar menikah dengan perempuan lain seperti Joice Erna di film Hari Anggara, itu ? Membayangkannya saja aku sudah takut setengah mati. Jadi, sungguh aku benar-benar tak ingin melihat Ayahku berbagi kasih sayang dengan orang lain. Aku tak ingin ia memberikan kasih sayang kepada orang lain seperti kasih sayang yang ia curahkan padaku. Ini tak bisa ditawar tawar. Aku sangat menyayanginya. Seperti yang pernah ia katakan padaku dulu. Meskipun ini juga menciptakan satu rahasia dalam diriku bahwa pada kenyataannya aku telah berbagi kasih sayang dengan orang lain, kepada sahabatku, Erik, Ramson dan Soni. Ketiganya adalah sahabat baikku di sekolah menengah atas saat ini yang dengan mereka aku dapat merasakan dunia ini lebih besar ketimbang memikirkan seorang Ibu.