1
Rumah Kosong di Kebun Belakang
Ini sudah malam yang ketiga. Anjani mengalami mimpi itu lagi. Mimpi tentang sosok yang sama dengan mimpi dua malam sebelumnya. Ketika dia berada dalam mimpi, dia tidak bisa melihat jelas penampakan dari sosok itu. Setelah bangun, dia hanya bisa mengingat potongan-potongan dari setiap mimpinya. Mimpi yang pertama, dia sedang berdiri di suatu tempat dengan banyak pohon besar seperti hutan belantara dan melihat sosok laki-laki dengan penutup kepala menyerupai topi pelindung yang biasa dipakai peternak lebah. Mimpi yang kedua, dia melihat sosok itu lagi di tempat yang sama, menggenggam pisau belati dengan noda darah di ujungnya. Mimpi yang ketiga, sosok itu tampak menyala terang kemudian seperti hendak berlari mengejarnya hingga membuatnya terbangun dari tidur.
Berawal dari kejadian tersengat tawon ketika membersihkan rumah kosong di kebun belakang, Anjani mulai sering mengalami mimpi buruk. Dia tidak tahu pasti serangga yang menyengatnya itu tawon ganas atau bukan. Dia awalnya merasa panas dan ngilu pada bagian yang tersengat. Waktu itu, dia langsung pulang dan berbaring di kursi ruang tamu hingga tertidur. Bu Rasmi membangunkannya kemudian membantu menghilangkan sungut lebah, memberi losion untuk meredakan bengkak, menyuruhnya meminum obat penurun panas lalu menyuruhnya tidur di kamar. Ketika terbangun, hari sudah malam. Kamarnya masih gelap gulita karena dia belum menyalakan lampu.
Bu Rasmi mungkin sengaja tidak membangunkannya. Anjani menyalakan lampu kecil di tembok dekat tempat tidur. Dia melihat sepiring nasi dan lauknya yang sudah dingin di atas meja, juga segelas air putih. Dia tidak merasa lapar. Namun, dia merasa tidak enak hati bila tidak menghabiskan makanan yang sudah disediakan Bu Rasmi untuknya. Dia memasukkan makanan itu sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya sampai habis kemudian meminum air putih. Setelah selesai, dia membawa piring dan gelas ke belakang. Orang-orang di rumah ini sepertinya sudah tidur. Hanya lampu bohlam lima watt di beberapa sudut menuju dapur yang menyala. Dia mencuci piring dan gelas lalu meletakkannya di rak. Sebelum kembali ke kamarnya, dia masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil dan berwudu. Suara jam dinding yang berdentang satu kali di ruang tengah membuatnya terkejut. Ini sudah lewat tengah malam, pikirnya.
Tadi, dia tidak sempat melihat jam dinding di kamarnya. Dia segera kembali ke kamar dan mendapati angin yang berhembus kencang menggerakkan tirai jendela. Dia menarik tirai itu hingga menutupi jendela kaca. Dia sudah melewatkan empat waktu salat karena kejadian hari ini. Dia buru-buru memakai mukena, memulai rekaat pertama. Daripada tidak sama sekali, pikirnya. Selesai salat, hatinya agak berdesir. Di luar tidak terlalu gelap dengan adanya lampu penerangan jalan di depan rumah. Anjani kembali ke tempat tidur. Dia mendapati ponselnya di dekat bantal rupanya mati karena baterainya habis. Dia mengisi ulang baterai ponselnya hingga menyala indikator merah dan meletakkannya di meja dekat colokan listrik yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Dia lantas berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya. Dia masih berusaha mengingat kejadian tadi siang.
Pikirannya dipenuhi ingatan tentang rumah kosong yang tidak terawat dengan halaman depan dan belakangnya yang luas. Rumah kosong di kebun belakang itu sebelumnya ditempati Janta, cucu laki-laki pertama di keluarga Mbah Lurah, dan halamannya yang luas digunakan untuk beternak lebah. Namun, usaha itu sudah lama berhenti, tepatnya setelah kematian Janta lima belas tahun yang lalu. Anjani masih mengingat dengan jelas ketika Janta dikabarkan meninggal karena kecelakaan di jalan sebelum jembatan yang menghubungkan Randuhayu dengan desa lainnya. Mobilnya menabrak pagar pembatas dan terbakar. Pagar pembatas yang roboh menyebabkan mobil terlempar lalu jatuh ke sungai. Tubuh Janta ditemukan di antara batu-batu besar di bagian sungai yang dangkal dalam keadaan hangus.
Kecelakaan itu terjadi pada Minggu dini hari. Orang-orang desa berdatangan ke lokasi kejadian sampai mobil polisi datang. Waktu itu, Anjani masih SD. Dia sebenarnya takut melihat kejadian seperti itu tetapi dia ikut saja ketika teman-temannya mengajaknya. Setelah sholat Subuh di masjid, dia dan teman-temannya datang beramai-ramai ke tempat terjadinya kecelakaan. Namun, orang-orang tua dan petugas mengusir anak-anak yang ingin melihat dari dekat bahkan menyuruh pulang. Alhasil, Anjani dan teman-temannya hanya bisa melihat dari kejauhan.
Seminggu setelah kejadian nahas yang menimpa Janta, Anjani meninggalkan Randuhayu dan tinggal bersama Pakdhe dan Budhe di Semarang. Waktu itu, dia baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Kata orang-orang di desa, ayah dan ibunya meninggal karena kebakaran. Anjani sendiri tidak yakin kalau ayah dan ibunya meninggal karena kebakaran. Hari itu menjelang magrib dan langit masih terang-benderang. Seingat Anjani, ibunya tidak sedang memasak atau melakukan pekerjaan yang menggunakan listrik atau api. Ibunya sedang melipat pakaian di kamar belakang sedangkan dia sendiri bermain di halaman samping, berburu capung. Ayah yang pada waktu itu hendak pergi ke masjid mengingatkannya untuk segera masuk ke dalam rumah. Anjani hanya mengiyakannya.
Sepeninggal ayahnya, Anjani melihat seseorang yang menutupi wajahnya dengan tutup kepala serba hitam mengendap-endap menuju halaman belakang rumahnya. Dia sempat membuntuti orang itu dan melihatnya membawa pisau belati. Sesampainya di depan pintu yang terbuka, dia melihat orang itu memeluk tubuh ibunya yang meronta-ronta dan berteriak meminta dilepaskan. Namun, dia tidak tahu apa lagi yang terjadi selanjutnya. Dia tiba-tiba dibekap dengan kain oleh seseorang dari arah belakang. Dia tidak mendengar suara ibunya berteriak lagi. Dia tidak mendengar suara apa pun karena tak sadarkan diri. Ketika terbangun, dia sudah ada di tempat tidur Puskesmas ditemani Bu Rasmi dan seorang polisi. Setelah kejadian itu, Bu Rasmi mengajaknya tinggal di rumahnya sampai Pakdhe dan Budhe yang tinggal di Semarang datang menjemputnya.
Sebelum peristiwa kecelakaan yang menewaskan Janta, kasus pembunuhan berantai terjadi di Randuhayu. Korbannya rata-rata perempuan muda. Kasus itu tumpang-tindih dengan isu teror hantu lebah. Anjani mencoba mencari kaitan antara kejadian dalam mimpinya dan ingatannya yang terbatas tentang peristiwa yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Sayangnya, Anjani kesulitan mencari titik temu yang bisa menghubungkan keduanya. Semuanya tampak kabur. Mimpi itu mungkin memang hanya bunga tidur dan ingatannya tentang peristiwa-peristiwa itu telah masuk ke alam bawah sadarnya sehingga kadang mempengaruhi pikirannya. Anjani meraih ponsel di meja di samping tempat tidurnya lalu menyalakannya.
“Pukul setengah lima,” gumamnya ketika melihat penunjuk waktu di layar ponsel.
Anjani beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan ke pintu. Sekilas, dia melihat ada orang menutupi kepalanya dengan kain sarung lewat di bawah lampu penerangan jalan di depan rumah dari balik jendela kaca yang tertutup tirai tetapi kemudian dia abaikan. Anjani pikir orang itu mungkin tukang ronda yang baru selesai berkeliling kampung. Dia keluar kamar untuk mengambil air wudu di sumur di belakang. Suara azan Subuh sudah berkumandang dari arah masjid. Bu Rasmi sudah mengambil air wudu lebih dulu. Dia sudah memakai mukena dan hendak ke masjid. Anjani segera menyudahi wudunya dan menyusul Bu Rasmi.
---
Anjani sudah merasa lebih baik setelah tiga hari istirahat. Dia akan meneruskan tugasnya membersihkan rumah kosong di kebun belakang itu lagi. Sekarang, dia memakai mantel yang menutupi kaki, lengan, dan lehernya. Dia juga tak lupa memakai topi dan masker. Dia tidak ingin tersengat tawon atau binatang berbahaya lainnya seperti kemarin. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Anjani melepas mantel, topi, dan maskernya lalu bergegas membukakan pintu. Bu Rasmi mengantarkan sarapan beserta obat dan air putih yang ditaruh di atas nampan kecil.
“Kalau masih sakit, istirahat saja dulu,” nasihat Bu Rasmi sembari meletakkan nampannya di atas meja.
“Aku sudah sehat, Bu. Aku akan kembali bekerja hari ini.”
“Tapi, aku lihat wajahmu masih terlihat pucat.”
“Aku ....”
Suara Anjani tercekat. Dia tidak tahu harus mengatakan apa untuk menolak saran Bu Rasmi. Dia ingin mengatakan sesuatu tentang mimpinya tetapi dia urung melakukannya. Dia tidak bisa menceritakannya pada Bu Rasmi. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Selain itu, Bu Rasmi tidak akan memberikan perhatian pada mimpinya. Dia pasti hanya akan menghibur Anjani dengan mengatakan kalau mimpi itu hanya bunga tidur dan demamnya yang belum hilang membuatnya sering bermimpi.
“Ibu sudah carikan teman yang akan membantumu membersihkan tempat itu. Untuk pekerjaan yang berat biar pekerja yang disewa kelurahan yang mengerjakannya. Sekarang, minum obatnya dan tidurlah!”
Anjani menatap Bu Rasmi, hendak mengatakan sesuatu. Namun, dia ragu.
“Urusan bersih-bersih itu dilanjutkan besok saja! Aku juga sudah bilang Alin dan Yurin,” ujar Bu Rasmi meyakinkan Anjani.
“Siapa mereka?”
“Guru bantu di SD yang juga aktif jadi pengurus PKK di desa ini. Bu Lurah yang memintaku untuk mengajak mereka agar kau tidak harus bekerja sendiri. Mereka bisa membantumu setelah pulang sekolah.”
“Mereka datang siang?”
“Tidak terlalu siang. Mereka hanya setengah hari di sekolah. Minggu ini ‘kan anak-anak ujian tengah semester.”
“Baiklah.”
Anjani segera menghabiskan sarapan kemudian meminum obat berbentuk tablet dan air putih yang banyak sementara Bu Rasmi merapikan tempat tidur. Setelah Anjani selesai, dia kemudian keluar dengan membawa nampan berisi piring dan gelas yang sudah kosong.
Anjani memasukkan mantel, topi, dan masker ke dalam lemari. Dia kembali berbaring di tempat tidurnya. Dia tidak bisa tidur. Dia memikirkan Bu Rasmi. Perempuan itu adalah istri Pak Idhang, anak sulung Mbah Lurah. Keluarga Mbah Lurah adalah keluarga terpandang di desa ini. Mereka sangat kaya. Sepeninggal Mbah Lurah, Pak Idhang mewarisi tanah yang lokasinya terletak di beberapa desa, bisnis usaha pertanian, dan kekayaan lainnya. Meski menikah dengan orang kaya, Bu Rasmi tidak sombong. Dia memiliki sifat lemah lembut dan perhatian. Namun, dia kadang terlihat murung. Anjani merasa Bu Rasmi menyembunyikan sesuatu. Setiap orang memiliki masalahnya sendiri, begitu juga dengan Bu Rasmi. Anjani membalikkan posisi tubuhnya ke arah jendela kaca. Pikirannya melayang ke peristiwa lima belas tahun yang lalu.
Dia tidak akan terus-terusan terkenang peristiwa menyedihkan itu seandainya dia tidak harus kembali ke desa ini. Akan tetapi, perjodohan antara dirinya dan Gadhing, anak satu-satunya Pak Idhang dan Bu Rasmi, yang katanya telah direncanakan oleh Mbah Lurah semasa dia masih hidup membawanya datang kembali ke Randuhayu. Anjani tidak menyangka keluarga besar Mbah Lurah akan menjadikannya menantu di keluarga ini. Dia sebenarnya agak ragu kalau perjodohan ini akan menjadi kenyataan. Dia tidak tahu kenapa dia ragu. Dia berpikir itu mungkin hanya perasaannya saja. Kenyataannya, dia sekarang telah menjadi istri Gadhing.
---
“Hari ini sangat cerah,” gumam Anjani.
Anjani sudah benar-benar sehat. Dia akan melanjutkan tugas membersihkan rumah kosong di kebun belakang. Dia harus lebih berhati-hati kali ini. Tempat itu sudah lama tidak dihuni. Binatang-binatang berbahaya mungkin tinggal menetap di tempat itu. Dia langsung pergi ke halaman belakang setelah sarapan. Dia telah memakai mantel, topi, dan masker yang sudah dia siapkan kemarin. Dia juga tak lupa membawa cairan pembersih dan kain lap yang banyak. Sekarang, dia sudah ada di kebun belakang. Dia memandangi rumah itu dari depan. Dia pikir rumah itu masih cukup bagus meski temboknya sudah berlumut hingga berkerak, atap bagian belakang rusak, dan kayu pada beberapa jendela keropos.
Rumah yang sudah lama tidak dihuni dan ditinggalkan pemiliknya itu terletak di tengah kebun yang dipenuhi pohon-pohon besar dan aneka tanaman bunga yang tumbuh liar. Tanaman bunga itu mungkin pada awalnya sengaja ditanam untuk memenuhi kebutuhan nektar bagi lebah madu yang diternak Janta. Janta mengolah dan mengemas hasil produksi madunya di ruang belakang rumah itu. Mbah Lurah sangat kaya. Dia harusnya memberi Janta modal untuk membuat bangunan semipermanen saja untuk usaha ternak lebah madunya.
Rumah ini terlalu bagus untuk tempat usaha beternak lebah madu meski tidak terawat. Rumah ini juga cukup luas dengan empat ruang yang dibatasi dinding. Dinding bagian dalam maupun luar masih kokoh meski catnya sudah mengelupas. Hanya dua ruangan yang dipasang pintu dari kayu. Dulu, kedua ruangan itu digunakan untuk kamar tidur. Dua ruangan lainnya untuk ruang tamu dan ruang tengah. Dapur terletak di belakang, menjadi satu dengan teras belakang dan sumur serta kamar mandi.
Janta tinggal sendiri di rumah yang merupakan rumah yang dibangun kakeknya untuk ditempati oleh orang tuanya dulu. Tanah yang menjadi tempat dibangunnya rumah itu sebenarnya masih menjadi satu dengan tanah luas keluarga Mbah Lurah, demikian juga hak kepemilikannya. Setelah memulai usaha beternak lebah, Janta menggunakan dua ruangan yang dulu kamar tidur untuk ruang kerja dan tempat menyimpan dokumen. Dia juga makan, minum, dan tidur di salah satu ruangan di rumah itu. Dua ruangan dan bagian rumah lainnya untuk menyimpan perkakas dan peralatan yang dibutuhkan untuk usaha ternak lebah dan menampung hasil panen madu.
Rumah lebah hanya berupa kotak kayu dengan sekat-sekat di dalamnya. Rumah lebah itu nantinya ditempatkan di pohon-pohon di belakang rumah atau batang kayu yang diletakkan di halaman samping. Lebah-lebah itu sendiri akan mencari makan dengan mengisap nektar dari bunga-bunga yang bertebaran di kebun itu. Sesudahnya, mereka akan kembali ke kotak-kotak kayu yang disediakan. Janta mempekerjakan beberapa orang pekerja yang bertugas memeriksa kotak-kotak kayu itu secara bergantian.
Rumah kosong di kebun belakang itu rencananya akan dijadikan tempat untuk menyelenggarakan kelas PAUD pada pagi hari dan kelas untuk Kejar Paket B pada siang hari. Anjani akan ikut mengajar kelas untuk Kejar Paket B. Bu Lurah yang memintanya bergabung dan langsung disetujui oleh Bu Rasmi. Rencana itu sebenarnya sudah lama dibicarakan oleh penyelenggara sekolah dan pihak kelurahan. Bu Rasmi juga sudah sepakat dengan suaminya untuk meminjamkan rumah itu untuk tempat belajar. Namun, dana dari pemerintah belum turun.
Hari ini, Anjani tidak sendiri. Bu Rasmi telah memberitahu Anjani kalau dia telah mencarikan orang yang bisa membantunya membersihkan tempat itu. Anjani belum mengenal Yurin dan Alin. Anjani sendiri sebenarnya masih ingat dengan beberapa orang temannya, teman-teman sepermainannya waktu dia tinggal di desa ini. Dia berharap bertemu teman-temannya itu setiap kali dia pergi ke masjid. Namun, teman-temannya itu tidak ada di antara mereka yang datang ke masjid.
Anjani datang lebih awal dari sebelumnya. Ketika sampai di depan rumah di kebun belakang, keduanya ternyata sudah menunggu Anjani di teras rumah itu. Anjani membuka pintu depan dengan kunci gembok. Sewaktu mereka masuk ke dalam, aroma kayu yang lembab dan berjamur menyeruak mengusik hidung kemudian disusul dengan keributan burung-burung sriti yang beterbangan tak tentu arah dari sarang-sarang mereka di tempat tersembunyi di rumah itu.
“Penghuni tetap,” komentar Yurin.
“Burung-burung sriti itu?” tanya Anjani.
“Kukira masih ada teman-temannya yang lain,” tambah Yurin.
“Semoga bukan yang berbisa,” sambung Alin.
“Betul. Kemarin, aku habis disengat tawon,” ujar Anjani.
“Oh, pantas. Mbak Anjani sampai pakai mantel dan topi,” ujar Yurin.
“Iya. Aku jadi takut. Kalian tidak memakai pelindung?”
“Aku cuma bawa masker. Kita ‘kan bertiga. Kalau ada apa-apa nanti kita bisa saling membantu,” Yurin yang menjawab.
“Bu Rasmi bilang Mbak Anjani sampai demam. Betul itu?” tanya Alin.