"Ren, tunggu!"
Hania berlari menyusul Rena yang sudah berada diambang pintu kelas 2TB1. Rambut hitamnya yang dikuncir ekor kuda, melambai ke kanan kiri mengikuti gerakan larinya.
Rena sudah hampir melangkah masuk kelas, tapi ketika ia mendengar namanya dipanggil, ia berhenti lalu menoleh untuk memastikan.
Seperti yang ada dalam pesan Rena kalau ia akan menceritakan siapa yang sudah minta nomor Hania, hari ini Hania ingin menagih cerita itu. Semalaman ia sudah berusaha untuk melupakan hal itu, tapi tetap saja ia memikirkannya. Bagaimanapun juga ia belum pernah memberikan nomornya pada siapa pun, apalagi ini seorang cowok.
Hania berlari-lari kecil agar lebih cepat sampai, ia sudah sangat tidak sabar untuk tahu siapa yang sudah minta nomornya. Ia berhenti di samping pintu, bersandar tembok bercat krem.
"Siapa...." jeda, ia menunduk dengan bertumpu lututnya. Napasnya megap-megap. "Siapa, dia?" tanyanya to the point.
"Ih, lo lari-lari kayak gitu cuma mau tanya itu, ya?" Rena tertawa kecil. "Lo, penasaran ya? Ngaku, lo?" ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hania dengan mimik wajah menggoda.
Hania mendengkus kesal.
"Gue nggak penasaran, Ren. Gue cuma pengen tahu, siapa yang udah minta nomor gue. Wajarkan? Lagian, gue nggak mau nomor gue disimpen sama orang yang nggak jelas. Kalau disebarin gimana? Kalau disalahgunain gimana? Lo mau tanggung jawab?" protes Hania panjang lebar, sambil berkacak pinggang.
Rena tertawa lalu menggeleng.
"Sorry, Han, dengan sangat menyesal gue harus bilang sama lo, gue benernya pengen ngasih tahu lo, tapi yang bersangkutan ngelarang gue bilang sama lo. Dia bilang kalau waktunya udah pas, dia mau langsung nemuin lo, jadi sabar aja ya,"
Rena terkikik tangannya menutupi bibir.
"Lo, nggak usah khawatir, dia cakep kok, Han. Bukan orang jahat, bukan Om Om buncit, hihihi," Rena mengerling lalu masuk kelas meninggalkan Hania yang masih berdiri sambil menahan kesal.
Yang diminta, 'kan nomor gue? Tapi kenapa gue nggak boleh tahu? Aneh banget, sih? Batin Hania heran.
Hania melangkah masuk ke dalam kelas dan menuju mejanya yang bersebelahan dengan meja Rena. Sambil menyimpan tasnya di laci, ia melirik Rena yang tengah sibuk dengan PR-nya yang belum selesai. Lalu ia menoleh ke belakang, siswa lain masih bergerombol menceritakan tentang Mahasiswa yang mau KKN di sini. Hania mendesah, lalu kakinya bergerak menendang pelan kursi Rena, refleks membuat gadis manis itu menghentikan aktivitasnya.
Rena menoleh.
"Lo masih mau nanya siapa yang minta nomor lo?" jeda, Rena kembali cekikikan. "Maaf, beribu maaf, Han. Gue udah janji sama Kak-" Rena langsung membekap bibirnya dengan mata melotot. "Uh, dasar mulut nggak mau kerjasama, untung gue nggak keceplosan?!" Rena menepuk-nepuk bibirnya pelan.
Rena menatap Hania yang menatap dirinya antusias lalu berangsur terlihat kecewa, Hania tadi sudah hampir mendapat petunjuk. Tapi nasib baik belum berpihak padanya, nyatanya Rena tersadar dari kebiasaan bibir lemesnya.
Kak? Kak siapa? Banyak yang dipanggil 'Kak' sama Rena, di sekolah ini saja ada puluhan. Oh, Tuhan berilah pentunjuk-Mu.